This post is written by Awoo G’18 and Iyan G’21
Sebagai seseorang yang tumbuh berkembang sembari menyerap berbagai macam hiburan dalam rangka menghabiskan waktu, atau bahkan sebagai metode penelitian mengenai penulisan cerita, tak dapat dipungkiri bahwa anime adalah salah satu media hiburan yang eksistensinya tidak dapat diabaikan. Banyaknya tema dan genre yang tersedia, format penayangan yang cenderung mudah untuk diikuti, dan tingkat kompleksitas “hidangan” yang beragam. Bisa dibilang setiap orang akan memiliki paling tidak satu anime yang kompatibel baginya. Tidak jarang seseorang memiliki perasaan yang kuat untuk hidup di dalam dunia yang disajikan, atau bahkan ingin self-insert sebagai salah satu karakter yang ada dalam cerita tersebut.
Pada tahun 2010-an awal, meningkatnya aksesibilitas terhadap cara memperoleh informasi yang didukung dengan dibangunnya infrastruktur teknologi informasi yang semakin pesat membuat kita sudah mampu untuk mengakses konten-konten yang awalnya disangka sebagai konten yang region-locked. Televisi sebagai sumber media hiburan rumahan mulai digeser posisinya oleh keberadaan “warung internet” (disingkat warnet) yang secara efektif mampu menyajikan lebih banyak ragam informasi. Didukung dengan sifatnya yang on-demand, pengguna diberikan kebebasan untuk memilih konten apa yang akan mereka konsumsi. Meningkatnya intensitas interaksi yang dilakukan di dunia maya membuat orang-orang mulai membangun komunitas untuk nyaris semua hal. Dan komunitas pecinta anime tidak luput dari progresi ini.
Tahun 2012, saat harga kuota internet sedikit demi sedikit menjadi lebih murah, didukung oleh distribusi perangkat untuk terhubung ke internet yang semakin terjangkau. Berbekal USB modem saja setiap orang sudah bisa terhubung dengan luasnya dunia internet. Dan didukung dengan panasnya diskusi mengenai industri anime yang ada di negeri tirai bambu sana membuat tahun ini menjadi awal tahun keemasan dalam perkembangan komunitas pecinta anime di Indonesia, bahkan sampai seluruh dunia.
Tahun 2012, adalah saat penayangan anime Sword Art Online. Semenjak saat itu, populasi otaku di Indonesia naik dengan pesat, nyaris sampai ke level “mengkhawatirkan”.
Tahun 2013 adalah tahun penayangan anime Oregairu.
Tahun 2014 adalah tahun penayangan anime No Game No Life.
Dan tahun 2015 adalah tahun penayangan Dungeon ni Deai wo Motomeru no wa Machigatteiru Darou ka (DanMachi).
Fast forward ke tahun 2023, musim ke-4 dari DanMachi sudah ditayangkan.
Dan akhir tahun 2023, kami suka elf.
DanMachi: Premis, Alur, dan Seberapa Berharganya Sebuah Familia
DanMachi adalah anime dengan genre native isekai fantasy yang mengikuti kisah seorang petualang Bell Cranel dalam melakukan eksplorasi dungeon. Sebagai petualang yang masih newbie, selain dari fakta bahwa kekuatannya masih lemah, dalam banyak kesempatan Bell diselamatkan dan ditolong oleh seorang petualang wanita bernama Ais Wallenstein yang berakibat pada timbulnya sebuah perasaan dalam hati Bell. Dalam petualangannya, Bell menjalin relasi dengan Dewi Hestia dan memperoleh “berkat” dari Hestia. Cerita dikembangkan dengan premis utama yang berputar terhadap judulnya sendiri, “Apakah salah untuk mencari pasangan selagi kamu mengeksplorasi dungeon*?”
Apabila Anda mengikuti anime ini, maka akan sangat jelas bahwa pada musim pertamanya, Bell hanya memiliki ambisi untuk mengejar Ais. Bersamaan dengan perkembangan ini, Hestia ingin memiliki Bell hanya untuk dirinya sendiri, entah rasa sayang sebagai seorang Dewi dari Familia-nya, atau memang ada perasaan lain yang tersirat. Perkembangan ini semata-mata membuat musim pertamanya terasa sangat generic, terlebih dengan adanya klise “Cinta Segitiga” yang secara konsisten dibawa hingga akhir musim. Namun untungnya Bell tidak sendirian. Karakter-karakter tritagonis lainnya mulai ikut serta, mengikuti, dan bergabung dalam Hestia Familia, dan secara konsisten turut hadir dalam setiap petualangan Bell ke depannya.
Sistem familia yang ada dalam cerita ini didasarkan pada keberadaan dewa-dewi di dunia manusia. Mereka memiliki kekuatan ilahi dan kekuasaan yang tentunya lebih dari manusia biasa. Keinginan yang kuat untuk berhubungan erat dengan manusia membuat lahirnya sistem familia, di mana seseorang dapat mendapatkan karunia ilahi dari dewa-dewi. Setiap dewa dan dewi memiliki visi, misi, dan tujuan dalam membangun familia mereka. Apakah ingin menjadi familia terkuat, familia yang menjunjung tinggi suatu nilai tertentu, atau hanya semata keinginan serakah berdasarkan prinsip favoritisme terhadap sosok individu tertentu. Pada akhirnya, terbentuk suatu perbedaan kasta yang didasarkan oleh familia yang dianut. Tidak jarang hal yang sama membuat gesekan ataupun diskriminasi antar familia dan mereka yang tidak memiliki familia.
Bell Cranel adalah karakter simpleton yang benar-benar kokoh dalam pendiriannya. Kelakuannya yang senantiasa menjawab perasaan Hestia hanya setinggi rasa hormat sebagai seorang dewi, keinginannya untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya, dan seberapa besar dia menghargai orang-orang yang ada disekitarnya membuat orang-orang mulai menaruh ketertarikan padanya. Dan hal ini secara tidak langsung membuat orang-orang mulai berkumpul di sekitar Bell. Ambil contoh musim kedua, di mana Bell mulai ditargetkan sebagai “mangsa” oleh berbagai familia lainnya, dengan hasil akhir berupa bertambahnya anggota familia Hestia, yakni Mikoto dan Haruhime. Dilanjutkan dengan musim ketiga yang fokusnya bergeser dari familia ke dungeon itu sendiri. Bell yang dengan cepat menjalin hubungan terhadap kaum Xenos (yaitu monster yang memiliki akal dan bisa berbicara bahasa manusia) di dalam dungeon membuat dirinya sudah lebih dari sekadar petualang secara umum. Terdapat influensi yang membuat Bell menjadi sosok yang unik, yang tentunya adalah plot armor + device sebagai seorang main character.
Bell Cranel sebagai seorang main character membuat alur cerita terkesan monoton mulai dari musim pertama sampai musim ketiga. Terdapat banyak hal yang sangat dapat dieksplorasi. Terdapat banyak karakter yang memiliki ceritanya masing-masing. Dan terdapat cerita dari setiap kejadian yang tercatat dalam sejarah.
Dari semua musim anime yang sudah ditayangkan, tentunya yang paling menarik perhatian adalah pada musim keempatnya. Musim keempat? Kalian mungkin bertanya, mengapa demikian?
Memangnya ada apa dengan DanMachi Musim Keempat?? (Warning: Full-Blown Recap, Heavy Spoiler Ahead).
Sesuai dengan judulnya, musim ini menceritakan lebih dalam soal petualangan dalam dungeon itu sendiri. Berbeda dari musim ketiga sebelumnya yang lebih berfokus kepada eksplorasi kaum Xenos yang menimbulkan banyak kontroversi kepada masyarakat luas kota Orario ketika mereka muncul di permukaan, musim keempat anime ini lebih berfokus kepada pengalaman bertualang di dalam dungeon itu sendiri yang memang pada kenyataannya menyeramkan dan dipenuhi oleh hal-hal yang tidak terduga–yang apabila para petualang salah sedikit saja dalam mengambil langkah untuk menyikapinya bisa berarti kematian instan bagi mereka.
Musim keempat DanMachi ini dibuka oleh Bell yang sudah naik menjadi petualang level 4, mengikuti dari hasil perkembangan pesat dari pertarungan-pertarungan keras yang ia hadapi di musim ketiga. Kemudian tak lama kemudian, Hestia Familia mendapatkan tugas dari guild petualang untuk menyelidiki lantai bawah sebagai familia yang sudah dinilai berpengalaman. Oleh karena itu, Hestia memutuskan untuk membentuk tim ekspedisi dengan merekrut beberapa petualang dari familia lain, seperti petualang dari familia Miach dan Takemikazuchi. Kemudian, juga ada Aisha sebagai mantan petualang familia Ishtar yang mengajukan diri untuk ikut–yang tentunya sangat menambah sumber daya dari tim ekspedisi yang sudah dibentuk, mengingat Aisha adalah seorang petualang level 4, sama seperti Bell yang sekarang.
Kemudian, ekspedisi pun dimulai. Tim mulai menyelidiki dungeon hingga lantai 25—yang hitungannya sudah cukup dalam untuk dikategorikan ke dalam “lantai bawah”. Pada awalnya, tim ekspedisi ini merasa cukup percaya diri dengan kemampuan masing-masing individunya, namun untuk kerja sama tim ekspedisi ini tentunya masih sangat kurang, mengingat timnya baru saja dibentuk khusus untuk ekspedisi kali ini. Hasilnya adalah, banyak masalah dan hal tidak terduga yang terjadi secara tiba-tiba yang sering kali menyudutkan tim ekspedisi mereka kali ini. Namun dengan bantuan pengalaman ekspedisi lantai bawah dari Aisha yang sudah sering melakukannya, kemudian juga dengan berbagai usaha keras dan mati-matian dari seluruh individu tim yang berjuang agar tidak ada anggota tim yang tumbang menjadi korban dari keganasan dungeon lantai bawah, akhirnya seluruh anggota tim ekspedisi berhasil untuk kembali dari ekspedisi lantai bawah yang mereka lakukan menuju ke sebuah basecamp para petualang yang terletak di lantai 18. Overall, ekspedisi tim Bell dan yang lainnya memang cukup seru dan menarik untuk diikuti; namun hal itu sayangnya ternyata masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang akan terjadi ke depannya.
Seluruh arc ekspedisi tadi terasa hanya berperan sebagai “pengantar” dari kisah sebenarnya yang akan menjadi fokus utama dari musim keempat kali ini. Ekspedisi yang dilakukan oleh tim Bell lebih terasa hanya bertujuan untuk membuka mata penonton terhadap keganasan dan kengerian dari sebuah dungeon, yang cukup jarang dieksplorasi secara mendalam pada cerita ini dalam musim-musim sebelumnya. Arc yang akan terjadi setelah ini akan menjadi highlight yang penting untuk diikuti dalam musim keempat anime ini.
When Things are Starting to get Serious…
Arc dimulai dengan kasus yang mulai beredar di kalangan para petualang yang sedang berada di basecamp lantai 18 tersebut, di mana telah ditemukan mayat dengan luka sayatan pada banyak tendon di tangan dan kakinya. Para petualang mengira bahwa ini dilakukan untuk mencegah korban untuk bisa kabur dan meminta pertolongan. Kabar ini menyebar dengan cepat, dan dari luka yang diberikan serta berdasarkan beberapa saksi mata yang mempunyai pengalaman yang serupa dengan kasus kali ini, para petualang menyimpulkan bahwa kasus ini adalah hasil perbuatan dari seorang individu dengan julukan “Gale” (Angin Kencang). Individu ini memang sudah terkenal di kalangan para petualang untuk membuat kasus serupa di permukaan–yaitu dengan melukai korbannya dengan cara yang sama. Kemudian, Si Angin Kencang ini juga sering dirumorkan untuk memburu para anggota Rudra Familia, yang kebanyakan merupakan cat person (ras bertelinga hewan). Sosok Si Angin Kencang ini terus menjadi perbincangan masyarakat petualang karena aksinya yang tanpa ampun terhadap para korbannya–kemudian tanpa meninggalkan jejak dan kembali menghilang begitu saja, seperti julukannya.
Kemudian, dimulailah perburuan terhadap Si Angin Kencang ini. Berbagai kelompok perburuan sudah mulai dibentuk, tanpa terkecuali Hestia familia yang masih bermukim di basecamp lantai 18 tersebut. Semua anggota tim yang sudah beristirahat dan menyembuhkan luka dari ekspedisi sebelumnya, tentu saja ingin berpartisipasi dalam kasus kali ini. Terlebih lagi, Bell yang langsung menyadari kejanggalan dari kasus kali ini—karena ia sendiri tahu identitas sebenarnya dari Si Angin Kencang ini–yaitu atas nama Ryuu Lion, seorang maid di sebuah bar bernama “Houstess of Fertility” yang menjadi tempat langganan Bell untuk berkunjung. Ia pun khawatir dengan apa yang bisa terjadi kepada maid yang ia kenal baik selama ini–apabila perburuan oleh para petualang berhasil memojokkan Ryuu. Tanpa banyak pikir panjang, Bell langsung mengambil inisiatif untuk menyelidiki kasus yang sedang berjalan ini.
Dengan berbagai interferensi yang terjadi dan rembukan antar anggota tim ekspedisi Bell, akhirnya semuanya memutuskan untuk mundur dari kasus ini dengan pengecualian kepada Bell sebagai petualang level 4 yang mampu untuk berkontribusi lebih terhadap perkembangan kasus yang ada. Tim perburuan ini sampai turun ke lantai 27 agar bisa menyusul jejak dari Si Angin Kencang ini–dan tentu saja apabila beruntung, bisa menangkapnya.
Namun, oleh untaian takdir yang berjalan, Bell yang memisahkan diri dari tim utama untuk mencari Ryuu akhirnya bisa menemuinya paling awal dari yang lainnya. Ia memisahkan diri dari tim utama dengan tujuan agar bisa mencari tahu kebenaran dari kasus yang terjadi–mengingat ia tidak percaya bahwa seorang Ryuu bisa melakukan hal kejam seperti ini, dan Bell ingin memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Setelah mereka berdua bertemu, mereka juga dihadapkan dengan seorang petualang dari Rudra familia, dengan nama Jura. Mereka bertiga sedang bersamaan di dalam sebuah ruangan di lantai 27. Jura sedang terluka parah, dan Ryuu di sana juga sedang menyerangnya tanpa ampun. Bell langsung menengahi mereka berdua, dan melindungi Jura sebelum Ryuu bertindak lebih jauh lagi. Ryuu jelas tidak suka dengan kehadiran Bell sekarang, dan ia menyuruh Bell untuk minggir–apabila tidak, maka Ryuu juga akan menganggap Bell sebagai musuhnya.
Namun, Bell juga tidak mundur. Ia tetap tegas dalam pendiriannya. Dalam upaya untuk mencari kebenaran atas kasus ini, Bell langsung menanyai Ryuu soal apa yang sebenarnya terjadi. Ryuu, terus menatap Bell dengan sinis, menyuruh Bell untuk menghindar dari semua permasalahan ini. Bell terus berusaha untuk meyakinkan Ryuu untuk buka mulut, namun Ryuu juga sama keras kepalanya memaksa Bell untuk mundur dari kasus ini. Perdebatan mereka berdua berlangsung cukup sengit, diselingi dengan Jura yang sudah terluka dan terus meringkuk ketakutan di hadapan Ryuu yang penuh dengan amarah. Pada akhirnya, Bell menanyakan pertanyaan terpenting–ia bertanya apakah Ryuu adalah sosok yang membunuh para petualang yang menyebabkan keributan di lantai 18 dungeon sekarang ini. Ryuu langsung menjawab tidak atas pertanyaan itu dengan tegas.
Setelah mendengar jawaban Ryuu, Bell langsung berbalik. Jura tidak percaya bahwa Bell langsung memihak Ryuu hanya dari perkataan seperti itu. Namun Bell menjelaskan, bahwa ia mempercayai sepenuhnya perkataan Ryuu–apabila Ryuu berkata bahwa bukan ia pelakunya, maka Bell akan mempercayai hal itu. Di saat yang bersamaan, Bell menunjukkan batu api yang terjatuh di lorong sebelum ia bertemu dengan Ryuu dan Jura. Ia berasumsi bahwa memang Jura-lah yang membawa batu api itu–barang yang sangat berbahaya dan mudah meledak.
Namun, daripada menjawab pertanyaan Bell, Jura langsung menyerang Bell dengan pecut miliknya. Bell refleks menghindarinya, dan Jura sekarang memasang wajah jemawa dan tertawa keras di hadapan mereka berdua–mengakui bahwa dari tadi ia hanya berlagak semata dan sebenarnya memang menyimpan rencana yang jahat. Melihat Jura yang seperti itu, Bell meminta maaf kepada Ryuu karena sudah meragukannya. Ryuu juga meminta maaf kepada Bell karena terlalu termakan oleh amarahnya tadi.
Di sinilah, Jura mulai menunjukkan wajah aslinya. Ia adalah anggota Rudra Familia yang sangat membenci Ryuu karena sudah menghabisi seluruh familia-nya di masa lalu, dan ia ingin membalaskan dendamnya sekarang. Ia membunyikan pecutnya, dan monster ular raksasa langsung muncul dari langit-langit dungeon.
Monster itu adalah Lambton, monster lantai dalam yang seharusnya tidak berada di lantai bawah tempat Bell dan Ryuu berada sekarang. Ryuu menjelaskan, bahwa Lambton memang merupakan monster yang bisa menggali tanah antar lantai dungeon, sehingga membuatnya bisa berada di lantai tempat mereka sekarang. Namun, faktanya tetap aneh bahwa monster itu sedang berada di tempat Bell dan Ryuu berada sekarang. Rupanya Lambton itu dikendalikan oleh sebuah magic item yang digunakan oleh Jura. Magic item itu bisa menjinakkan dan mengendalikan segala jenis monster dalam dungeon, terlepas dari monster yang lemah ataupun kuat.
Pertarungan pun tak terhindarkan. Bell dan Ryuu yang keduanya merupakan petualang level 4 pun masih kewalahan menghadapi monster raksasa dan lincah itu. Namun, akhirnya setelah pertarungan yang cukup sengit, mereka berdua berhasil mengalahkan monster itu dengan kombinasi serangan sihir Firebolt milik Bell dan Luminous Wind milik Ryuu.
Jura sekarang dalam posisi terpojok, dengan kartu as-nya yang telah dikalahkan. Namun, tidak sampai di situ. Daripada meminta belas kasihan, Jura justru tertawa semakin jemawa. Ia pun akhirnya mengaku bahwa ia sebenarnya hanya berperan sebagai pengalih perhatian untuk Bell dan Ryuu, di saat seluruh komplotannya yang lain sedang menyiapkan batu api di banyak tempat dalam dungeon. Tak lama kemudian, lantai 25 hingga 27 dungeon mulai bergemuruh dan meledak hebat. Puluhan batu api yang diletakkan secara strategis di berbagai macam titik diledakkan, menyebabkan kerusakan yang hebat di dalam dungeon.
Setelah rentetan ledakan itu terdengar menggema di dalam dungeon, Jura langsung tertawa jemawa mendengarnya, sedangkan Ryuu yang mulai merasakan firasat yang sangat buruk akan terjadi dalam waktu dekat. Ryuu langsung mencengkeram leher Jura, ia mulai memarahi Jura dengan nada panik. Jura yang hanya tertawa ketika melihat Ryuu berubah panik, membuat Ryuu semakin marah. Mereka berdua sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini, dan Ryuu langsung termakan amarahnya lagi dan hampir menghabisi Jura lagi, sebelum pergerakannya dihentikan oleh Bell.
Dan benar saja, tak lama setelah ledakan itu terjadi, terdengar suara rintihan keras yang bergema di seluruh isi dungeon–membuat Ryuu mulai gemetar ketakutan dan hyperventilating. Sosok Ryuu yang selama ini selalu tampil cool, tenang, rasional, dan dapat diandalkan seolah sirna begitu saja begitu “bencana” ini menampakkan sosoknya.
Bencana.
Bell tidak paham dengan apa yang sedang terjadi, dan Jura dengan jemawanya menjelaskan seluruh rencananya selama 5 tahun sejak gagal dibunuh oleh Ryuu dulunya, agar dapat memanggil “bencana” ke dalam dungeon sekali lagi. Ini juga merupakan rencana untuk membalas dendam kepada Ryuu yang terus memburu Rudra Familia selama ini. Akhirnya pun terkuak, bahwa masa lalu kelam Ryuu yang sempat diceritakan secara singkat di musim kedua, yaitu tentang seluruh anggota familia-nya yang terbantai di dungeon, juga memiliki keterkaitan yang dalam terhadap apa yang sedang terjadi sekarang. Jura menjelaskan dengan angkuhnya soal rencana balas dendamnya yang sekarang sudah berhasil, yaitu dengan memanggil “bencana” dungeon sekali lagi dengan cara meledakkan banyak bagian dari dungeon sehingga dungeon harus “membasmi” gangguan yang ada dengan mengirim “bencana” tersebut.
Jura yang terus tertawa jemawa, kemudian Ryuu yang hanya bisa mematung di tempatnya berdiri dengan ketakutan, serta Bell yang kebingungan dengan semua yang terjadi di hadapannya sekarang. Semuanya bercampur aduk di dalam suasana bertensi tinggi yang diiringi dengan rintihan panjang dari “bencana” ini. Banyak petualang yang mendengar suara ini, mendeskripsikannya dengan “Rasanya seperti dungeon sedang menangis”. Kemudian tak lama kemudian, “bencana” tersebut mulai menampakkan sosoknya dengan kedatangan yang… well, “meriah”. “Bencana” tersebut langsung membasmi setiap petualang yang ia lewati dengan begitu mudahnya, mencabik-cabik dan bahkan memakan beberapa dari mereka hanya dalam hitungan detik. “Bencana” tersebut akhirnya sampai pada lantai 27, terutama di ruangan tempat Bell, Ryuu, dan Jura berada. Ryuu hanya bisa jatuh terlutut seketika, begitu melihat sosok “bencana” itu dengan mata kepalanya sendiri.
Sosok “bencana” itu adalah monster dengan daya serang, daya tahan, dan kecepatan yang luar biasa. Makhluk itu bisa memantulkan serangan sihir secara sempurna. Satu cabikan dari lengannya bisa langsung memotong bersih semua yang berada dalam jangkauan ayunannya. Bell, yang melihat Ryuu berada dalam syok yang luar biasa, tak punya pilihan lain selain untuk melawan “bencana” itu. Namun, “bencana” itu bisa dengan mudah menangkis semua serangan Bell dengan ketahanan dan kecepatan yang luar biasa. Bell pun dibuat terpojok dengan cepat oleh “bencana” itu, hingga akhirnya Ryuu yang sedari tadi tenggelam dalam keputus-asaan dalam dirinya harus turun tangan pada akhirnya. Namun walaupun dengan kekuatan penuh dua petualang level 4, masih jauh dari kata cukup untuk mengalahkan “bencana” ini. Bell sempat melancarkan serangan telak hingga memotong salah satu lengan dari makhluk itu, namun itu masih jauh dari cukup. “Bencana” itu membuat mereka berdua terpojok hingga meninggalkan mereka berdua dalam kondisi yang sangat parah–terlebih Ryuu yang kakinya terluka parah oleh salah satu serangan monster itu sebelumnya, membuatnya kesulitan untuk berdiri. Bell yang aktif menyerang hanya berhasil melandaskan serangan telak ke salah satu kaki monster itu, sedangkan ia sendiri sudah sangat kewalahan melawannya hanya untuk waktu yang sebentar.
Baru di saat itu, Jura yang sedari tadi bersembunyi sekarang mulai kembali beraksi. Dari tempat persembunyiannya, ia melempar magic item yang ia miliki dalalm upaya untuk mengendalikan “bencana” itu. Dengan masih tertawa jemawa, Jura merasa bahwa ia sekarang sudah benar-benar berada di atas angin ketika magic item-nya itu mulai mempengaruhi gelagat “bencana” itu. Ia pun langsung memberikan perintah kepada “bencana” itu untuk membunuh Bell dan Ryuu di saat itu juga.
Namun, tertawaan itu terhenti dengan mendadak ketika ekor tajam dari monster itu mengayun dan membelah tubuh Jura menjadi dua, seketika membunuhnya. Namun perintah itu sepertinya masih terus berjalan, ketika Bell dan Ryuu mulai menyadari bahwa “bencana” itu kembali menjadikan mereka berdua sebagai target utamanya.
Namun, dalam kondisi penuh keputus-asaan tersebut, tiba-tiba sebagian dinding dungeon di sekitar mereka ambruk. Alangkah terkejutnya Bell dan Ryuu ketika melihat Lambton yang tadinya mereka hadapi ternyata masih hidup. Lambton itu juga sepertinya masih berada di bawah kendali magic item milik Jura, dan monster itu juga sekarang bersiap untuk menerjang Bell dan Ryuu. Ryuu yang hanya bisa terduduk di lantai karena terluka menjadi target pertama dari Lambton, namun Bell juga bergerak cepat. Ia berniat untuk mendorong Ryuu agar tidak terlibat dalam terjangan monster itu, namun timing-nya sedikit telat. Mereka berdua akhirnya malah berujung termakan oleh Lambton, dan monster itu langsung menggali tanah dungeon setelah melahap mereka berdua.
Apabila dilihat sekilas, mungkin kebetulan ini terlihat seperti kabar baik. Mereka berdua sedang berada di dalam tubuh Lambton yang sedang berpindah lantai, berhasil melarikan diri untuk dari “bencana” itu. Namun, tak lama kemudian, kenyataan yang terjadi rupanya tidak sesederhana itu.
Lambton itu pada akhirnya mati dari luka yang telah ia dapatkan dari pertarungannya melawan Bell dan Ryuu sebelumnya. Ketika Lambton itu sudah berhenti bergerak, Bell menggunakan Firebolt untuk membuka paksa perut Lambton dari dalam untuk keluar.
Ketika Bell mulai membuka matanya dan melihat ke sekitarnya, ia mulai sadar dengan apa yang telah terjadi. Dari lokasi dan karakteristik tempat ia berada sekarang, ia sedang berada di “lantai dalam”, klasifikasi lantai dungeon yang bahkan lebih dalam dan mengerikan daripada “lantai bawah”. Bell juga menyadari bahwa Ryuu ikut terbawa bersamanya ke dalam situasi ini, dan mereka berdua mulai berusaha untuk bertahan hidup di “lantai dalam” ini untuk sekarang meskipun dengan seluruh luka dan penderitaan yang sedang mereka alami sejak mati-matian menghadapi “bencana” itu tadinya.
Titik Terdalam (Tahap 1: Mimpi Buruk Lantai Dalam)
Di sini adalah awal permulaan dari musim keempat bagian kedua dari anime ini, yaitu kisah penuh perjuangan, keputus-asaan, emosional, sekaligus penuh makna bagi kedua tokoh utama pada arc ini. Musim keempat juga sedikit dihiasi oleh pertarungan tim ekspedisi Hestia familia dengan boss dungeon lantai 25—namun penulis merasakan bahwa perkembangan cerita paling penting dan esensial terletak pada kisah perjuangan bertahan hidup yang sedang dialami Bell dan Ryuu di lantai dalam, sehingga fokus utama pembahasan ke depannya hanya akan terpusat di sana.
Bell adalah yang pertama untuk bangun dari pingsan. Setelah memperhatikan dan menganalisis lingkungan sekitarnya, ia menyimpulkan bahwa ia dan Ryuu sekarang sedang berada di sekitar lantai 37 dungeon, tepat 10 lantai di bawah lantai ketika mereka bertarung melawan “bencana” tadi. Bell sempat bimbang dan kebingungan dengan apa yang harus dilakukan. Ia pun merangkul tubuh Ryuu yang masih belum sadarkan diri, berjalan perlahan untuk mencari tempat aman. Namun, secara tak terduga, “bencana” itu rupanya kembali menampakkan diri dan masih mengejar mereka berdua. Bell langsung panik, dan mengempaskan sihir Firebolt miliknya yang diperkuat oleh Argo Vesta ke langit-langit dungeon, memblokir jalan bagi “bencana” itu untuk mengejar mereka. Namun ini bukan waktunya untuk bersantai, Bell sadar betul bahwa monster itu masih akan terus mengejar mereka berdua apapun yang terjadi, selama mereka berdua masih berada di dalam dungeon.
Ketika Ryuu mulai sadar, Bell meminta Ryuu untuk menggunakan sihir penyembuh pada dirinya sendiri–karena kaki Ryuu yang sekarang terluka parah dan tidak bisa digunakan untuk berjalan. Namun, di luar dugaan, Ryuu menggunakan sihir penyembuh terakhir miliknya untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh Bell. Bell jelas terkejut akan hal ini, dan langsung bertanya alasan Ryuu melakukannya. Ryuu hanya menjawab, bahwa ia yang sekarang hanyalah beban, dan setidaknya Bell harus selamat dari kejaran “bencana” itu dan pergi dari dungeon ini tanpa dirinya. Bell sempat mengelak perkataan itu, namun percakapan mereka diganggu oleh kehadiran sesosok monster.
Monster yang mendatangi mereka adalah monster bernama Skull Sheep, monster lantai dalam. Apabila di musim keempat bagian pertama sebelumnya sudah diperlihatkan bahwa monster lantai bawah dungeon pada level 25 sudah cukup merepotkan untuk dibasmi, apalagi untuk monster dungeon level 37 seperti ini. Selain tangkas, Skull Sheep ini memiliki intelegensi yang tinggi apabila dibandingkan dengan monster-monster dungeon lain yang sudah sering dikalahkan oleh tim Bell di lantai tengah hingga lantai bawah.
Ryuu yang penuh luka dan bahkan untuk sekarang berdiri saja tidak bisa, hanya bisa menyaksikan Bell mengalahkan monster itu dengan susah payah. Ia hanya bisa memberikan sedikit instruksi kepada Bell dalam pertarungan, dan tidak lebih dari itu. Pada akhirnya, dengan segenap asa dan tenaga, Bell berhasil mengalahkan monster tersebut dengan mendapatkan luka yang cukup banyak. Di sinilah Bell mulai paham betapa mengerikannya lantai dalam–bertarung melawan satu monster saja sudah membuatnya sepayah ini.
Setelah itu, Bell dan Ryuu sempat berselisih. Ryuu masih menganggap bahwa dirinya yang sekarang hanyalah beban bagi Bell, dan Bell harus meninggalkan dirinya agar bisa selamat dari dungeon. Namun Bell menolak keras perkataan itu, mengatakan bahwa ia sama sekali tidak ingin meninggalkan Ryuu begitu saja, kemudian juga keberadaan Ryuu tetap penting untuk bisa mengajarinya soal lantai dalam, dan cara bertahan hidup di dalamnya. Ryuu pun akhirnya setuju, ia juga mulai kembali tersadar bahwa Bell masih memerlukan seseorang yang lebih paham soal lantai dalam untuk memandunya–karena mau setangguh dan sekuat apapun Bell, membiarkannya menelusuri lantai dalam tanpa arahan hanya saja akan membunuhnya. Ryuu pun menyarankan mereka untuk berjalan menuju sebuah ruangan untuk memulihkan diri dan menyusun strategi ke depannya.
Ketika sudah mendekati ruangan, Bell melihat sebuah cahaya. Ia sempat lega, berpikir bahwa mungkin ada orang lain yang juga bersama mereka di lantai 37 ini. Namun, perasaan senang itu langsung berubah menjadi syok berat ketika Bell mulai memasuki ruangan dan melihat apa yang ada di dalamnya.
Yang ada di dalam adalah tulang-belulang sisa sebuah kelompok petualang, yang masih bersamaan dengan perlengkapannya. Tak lama kemudian, beberapa Skull Sheep sudah membuntuti mereka berdua dari belakang dan sudah bersiap menyerang. Bell, yang masih berada dalam keadaan syok, langsung panik dan meng-spam sihir Firebolt miliknya ke langit-langit yang memblokir jalan bagi Skull Sheep itu untuk menyerang–mirip ketika ia memblokir jalan untuk “bencana” tadi. Setelah itu, Bell langsung jatuh terlutut, dan mulai hyperventilating. Bell sedang berada dalam kondisi panic attack, dan Ryuu juga mulai menyadarinya. Ditambah lagi, setelah meng-spam Firebolt barusan, sekarang Bell sedang berada pada ambang di mana dirinya mengalami mind down.
Ryuu pun langsung menampar Bell dan menyadarkannya, kemudian menenangkannya. Ryuu menjelaskan bahwa Bell tidak perlu memikirkan apa yang telah terjadi kepada sisa-sisa jasad petualang yang berada di dalam ruangan mereka itu. Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah berpikir tenang, dan memikirkan segala cara yang bisa mereka lakukan untuk bertahan hidup. Ryuu yang sudah memiliki banyak pengalaman sebagai petualang level 4 yang dulunya sering melakukan ekspedisi lantai dalam mulai banyak mengajari Bell soal cara bertahan hidup.
Pertama, mereka harus saling beristirahat yang cukup untuk memulihkan tenaga mereka. Ryuu menyarankan bergantian untuk tidur dan berjaga setiap 5 menit–ia juga menjelaskan bahwa 5 menit adalah waktu paling ideal untuk bisa beristirahat di lantai dalam seperti ini. Lebih lama dari 5 menit hanya akan membuat risiko diserang monster ketika beristirahat jauh lebih tinggi. Bell yang tadinya nyaris mind down pun akhirnya setuju atas petunjuk Ryuu, dan mulai memejamkan matanya.
Sembari menunggu Bell tidur, akhirnya ditunjukkan juga bahwa Ryuu sebenarnya juga gelisah dengan semua situasi ini. Meskipun berpengalaman, ia juga masih mempertanyakan kemungkinan bertahan hidup mereka berdua yang masih sangat tipis di lantai dalam ini. Mau bagaimanapun, Ryuu masih terus berusaha untuk berpikir realistis di sini.
Setelah beberapa menit, ada beberapa Skull Sheep yang muncul. Ryuu yang masih kesusahan untuk berjalan dengan susah payah melakukan penyerangan, meskipun pada akhirnya Bell pun bangun dan membantu untuk mengalahkan seekor Skull Sheep dan kemudian berkata 5 menit sudah berlalu. Setelah itu, Ryuu pun mengambil jatah gilirannya untuk beristirahat.
Dan pada saat Ryuu tertidur untuk sejenak ini, ia mulai memimpikan rekan-rekannya di masa lalu, Astrea Familia.
Mulai dari sini, pada setiap awal episode, untuk ke depannya akan ditampilkan beberapa flashback Ryuu soal Astrea Familia di masa lalu. Hal ini penting untuk character development Ryuu untuk ke depannya.
Mereka berdua mengulangi istirahat bergiliran ini beberapa kali, hingga Ryuu memiliki cukup tenaga untuk menyembuhkan Bell dan dirinya sendiri, membuatnya akhirnya bisa berjalan sendiri tanpa bantuan Bell. Bell menjelaskan lagi bahwa memang Ryuu yang menyembuhkan lukanya sendiri juga penting–karena pada akhirnya beban Bell berkurang secara signifikan apabila Ryuu bisa berjalan sendiri. Ryuu juga mengakui bahwa ia dari tadi memang kehilangan ketenangannya dan tidak berpikir cukup rasional untuk menanggapi semua situasi yang mereka hadapi.
Dalam kondisi mereka sekarang, Ryuu menyimpulkan bahwa hal yang paling masuk akal dan penting untuk dilakukan adalah untuk memanfaatkan segala sumber daya yang mereka punya untuk bisa menyambung hidup, kemudian juga pergi menuju jalur utama dari lantai 37 agar bisa naik ke lantai 36. Masalahnya, mereka berdua sangat kekurangan perlengkapan untuk bisa melanjutkan perjalanan untuk sekarang.
Ryuu yang sudah bisa berpikir lebih jernih, langsung mengambil perlengkapan dari jasad-jasad para petualang dalam ruangan itu, meskipun tampak jelas bahwa ia juga merasakan penyesalan dari wajah yang ia tunjukkan ketika ia mengambil paksa baju dari jasadnya. Hal ini juga mengubah perspektif Bell soal seorang Ryuu yang selama ini selalu tampil keren dan sempurna tanpa harus beralih ke cara seperti ini, semuanya demi bertahan hidup. Bell pun menguatkan tekadnya, dan ia pun mengikuti apa yang Ryuu lakukan, yaitu mengambil perlengkapan dari jasad petualang di sana dan berjanji akan kembali ke permukaan dengan peralatan yang sekarang ia ambil dari jasad-jasad itu.
Di antara perlengkapan yang diambil, ada sebuah peta lantai 37. Ryuu menggunakannya untuk menentukan lokasi mereka sekarang dan sebagai penentu arah untuk menuju jalur utama lantai 37. Selain itu, ada makanan dan beberapa potion masih tersisa dari perlengkapan petualang itu, namun tidak ada penawar racun. Ryuu mengatakan bahwa itu adalah ulah salah satu jenis monster di lantai 37 ini yang meracuni mereka semua, sehingga kelompok petualang tersebut mati dengan cepat tanpa menghabiskan persediaan mereka. Setelah mengambil semua perlengkapan itu pun, akhirnya Bell dan Ryuu mengucapkan perpisahan terakhir kepada seluruh jasad tersebut, dan kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju jalur utama lantai 37.
Titik Terdalam (Tahap 2: Pengalaman adalah Guru yang Terbaik)
Setelah itu, tensi cerita kembali meningkat ketika Bell dan Ryuu mulai memikirkan rencana untuk keluar dari lantai dalam ini. Di tahap inilah mereka mulai berjalan lebih jauh dan bertemu lebih banyak monster. Di sinilah Bell mulai sering bertarung dan Ryuu yang juga mulai memberikan banyak petunjuk, utamanya yaitu teknik bertarung dengan efisien melawan monster-monster lantai dalam yang berintelegensi tinggi. Ryuu bisa mengidentifikasi kelemahan dari teknik bertarung Bell, dan memberitahunya cara memperbaikinya. Di saat yang bersamaan, ia juga menggambar kasar peta yang tadi ia dapatkan agar tidak kehilangan arah selama perjalanan mereka untuk sekarang. Bell yang menyadari akan hal ini, mulai merasa bahwa ia selalu diselamatkan oleh pengetahuan Ryuu soal lantai dalam dan membuatnya kesal terhadap dirinya sendiri yang sangat tidak berpengalaman.
Di sini, Ryuu kembali menenangkan Bell, menjelaskan bahwa membuat kesalahan di penjelajahan pertama lantai dalam adalah hal yang wajar, kemudian juga fakta bahwa Bell sudah jauh lebih baik dari para petualang lainnya–di saat petualang lain akan merasa kelabakan dan ketakutan ketika pertama kali menginjakkan kaki di lantai dalam, namun berbeda dengan Bell yang justru terlalu keras kepada dirinya sendiri karena kurangnya pengalaman terhadap lantai dalam ini. Kemudian, Ryuu juga menambahkan beberapa tips dalam meningkatkan efisiensi teknik bertarung Bell. Ryuu berkata dengan tulus, bahwa Bell masih bisa berkembang jauh lebih kuat lagi dari sekarang.
Di tengah perjalanan, Ryuu menjelaskan soal beberapa jenis monster lain di lantai dalam ini yang butuh diwaspadai, yaitu Peluda dengan serangan beracunnya yang membunuh kelompok petualang yang barusan mereka temui, kemudian Spartoi yang memiliki kemampuan bertarung jarak dekat yang hebat. Secara kebetulan, mereka juga bertemu dengan Ooze, monster berlendir yang juga menyerang dengan racun. Namun sekarang mereka bertemu dengan Ooze berwarna biru, yang bisa dimakan menurut perkataan Ryuu. Mereka pun mengalahkannya dan kemudian merebus jasad Ooze itu untuk pengganti air minum.
Bell yang sudah merasa jijik dari penampilannya ketika sedang direbus, merasa semakin jijik ketika harus meminum rebusan Ooze tersebut, setelah paksaan dari Ryuu. Setelah meneguknya, Bell langsung berubah pucat, dalam hatinya ia berkata bahwa rasanya tidak jauh berbeda dari penampilannya. Setelah meminumnya, ia membaginya dengan Ryuu. Namun, di sinilah bagian menariknya.
Ryuu yang menyadari bahwa gelas itu sudah diminum oleh Bell, dengan nada gugup dan wajah merona merah, mengurungkan niatnya untuk meminumnya dan kemudian menyimpannya dengan alasan bahwa menyimpan air itu penting untuk sekarang. Bell sebagai protagonis seri harem ini yang kurang peka memang tidak menangkap hal yang aneh dari sini, namun berbeda dengan saya pribadi. Kalian sebagai penonton kemungkinan besar juga sudah paham apa yang terjadi–ya, indirect kiss. Ini adalah permulaan dari sesuatu yang sangat penting, dan kelanjutannya akan sangat penting untuk perkembangan cerita ke depannya.
Anyways, kembali lagi ke laptop. Mereka berdua terus melanjutkan perjalanan, dan mulai menentukan penanda-penanda lingkungan yang mulai menandai bahwa mereka sudah mendekati tujuan, yaitu jalur menuju lantai 36, tempat safepoint yang ingin mereka tuju. Moral Bell mulai memingkat, dan ia mulai menaruh harapan dan kemungkinan nyata bahwa mereka berdua bisa keluar dari lantai dalam ini hidup-hidup. Namun, di lain sisi, berbeda cerita dengan Ryuu.
Dalam diam, Ryuu selalu berpikiran pesimistik dengan kemungkinan terburuk yang masih bisa terjadi selama mereka masih berada di lantai dalam ini. Ia selalu menimbang-nimbang dan mempersiapkan kemungkinan terburuk di mana harus ada pilihan yang dibuat, dan pengorbanan yang harus dibayarkan–ia berpikir demikian sembari mengingat percakapannya dengan mantan rekan familia-nya dulu, Kaguya.
Perjalanan mereka berdua masih cukup sulit dan berbatu, di mana mereka berdua sempat dikelilingi oleh beberapa kawanan monster. Sembari terus bertarung, Ryuu mengamati bahwa perkembangan Bell memang cepat, dan lingkungan lantai dalam yang keras ini memang sangat membantunya untuk semakin terbiasa dengan perkembangannya yang cepat itu.
Di tengah jalan, Ryuu menyarankan untuk beristirahat setelah beberapa pertarungan melawan kawanan monster. Di sini, Ryuu mulai menceritakan lebih dalam soal keterkaitan dirinya dengan kasus “bencana” ini di masa lalu yang sebenarnya bernama Juggernaut, menjelaskan bahwa pihak Guild sebenarnya juga tahu soal keberadaan monster ini, namun merahasiakannya dari khayalak umum untuk mencegah keributan. Fels yang sering bekerja di balik bayangan pun sampai perlu untuk turun tangan secara langsung untuk meminta Ryuu tutup mulut soal kasus itu, dengan jaminan bahwa aksi jahatnya di masa lalu tidak dihiraukan oleh Guild juga. Sembari mendengarkan, Bell sempat hendak bertanya lebih lanjut soal masa lalu Astrea Familia, namun Ryuu tidak menjawabnya, justru mengingatkan bahwa ada hawa musuh yang mendekat.
Rupanya ada kawanan Spartoi dan monster-monster lainnya yang mengepung mereka dari depan dan belakang, membuat mereka berdua kewalahan menghadapinya. Namun, di saat yang bersamaan, ada beberapa ekor Peluda juga yang datang. Peluda itu tanpa menunggu lama, langsung mengeluarkan serangan duri beracunnya. Bell dan Ryuu langsung menghindar, kemudian serangan duri beracun itu langsung membunuh semua Spartoi yang sedang mengepung. Semburan api Peluda juga meluluhlantakkan semua monster lainnya yang masih selamat dari serangan durinya. Bell langsung melemparkan sebuah batu ledak yang masih ia miliki ke kobaran api, meledakkan dan membakar beberapa ekor Peluda tadinya. Saat Bell dan Ryuu sempat mengira situasi sudah cukup aman, tiba-tiba bahu Bell tertusuk oleh sebuah duri Peluda. Ternyata masih ada seekor Peluda yang masih hidup, dan Ryuu tanpa pikir panjang langsung melemparkan pedang untuk membunuhnya.
Ryuu sempat merasa sangat khawatir ketika mendengar rintihan kesakitan Bell akibat racun Peluda yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Bell langsung berusaha mencabut duri itu, kemudian meraih salah satu belatinya. Ia menusukkan belati itu ke lukanya, dan belati itu langsung menawarkan seluruh racun letal Peluda. Bell memberitahu bahwa itu adalah belati yang terbuat dari tanduk Unicorn, yaitu material terbaik untuk menawarkan racun. Secara tidak langsung, Welf sudah menyelamatkan nyawa Bell di sini. Setelah situasi menakutkan itu, mereka berdua kembali beristirahat sambil terus mengakses situasi.
Potion mereka yang terakhir sudah habis untuk mengobati Bell, dan Ryuu harus mencari jalan tercepat untuk menuju ke jalur utama sebelum situasi bahaya seperti tadi tidak perlu untuk terulang lagi. Namun, Ryuu sempat menyadari sesuatu yang aneh pada peta yang ia bawa sekarang. Berdasarkan rute yang sudah tergambar sebagian di peta itu, seharusnya para petualang yang dulunya itu terkena racun Peluda sebaiknya langsung melanjutkan untuk berjalan maju, berhubung bahwa tubuh yang terkena racun Peluda tidak akan bertahan lama tanpa penawar, dan dari situ adalah pertarungan melawan waktu untuk bisa kembali ke lantai atas atau bahkan permukaan untuk meminta bantuan. Namun, mengapa para petualang itu memutuskan untuk mundur ke dalam ruangan dan membiarkan mereka mati di sana?
Jawabannya muncul ketika mereka mulai berjalan kembali, dan Ryuu yang mulai mengenali lingkungan sekitarnya sekarang, Di sinilah Ryuu akhirnya paham betul di mana tepatnya lokasi mereka berada di lantai 37 ini, dan juga alasan mengapa para petualang itu memilih untuk mundur dan mati termakan oleh racun daripada harus terus berjalan maju.
Mereka akhirnya tiba di tempat itu bernama “Koloseum”. Itu adalah tempat mengerikan di mana banyak monster di sana yang terus bertarung tanpa ada habisnya. Monster yang mati di sana akan langsung ter-spawn kembali, menjadikan jumlah monster di sana tidak terbatas–bahkan membuat yang sekelas Loki familia pun enggan untuk berurusan dengan tempat ini. Seperti yang Ryuu katakan, tempat itu bak jelmaan miniatur kecil dari dungeon itu sendiri. Memang seharusnya dihindari, namun sekarang masalahnya adalah tidak ada jalan lain selain melewati koloseum ini untuk bisa menuju lorong yang terhubung ke lantai 36, tempat safepoint yang ingin mereka tuju. Tidak ada pilihan lain selain melewatinya untuk sekarang.
Dengan Bell dan Ryuu yang juga sedang tidak dalam kondisi prima, Ryuu memiliki sebuah ide. Ryuu menyimpan sebuah kulit dari Skull Sheep yang sudah banyak mereka kalahkan, juga dengan jantung seekor Barbarian, monster lantai dalam jenis lainnya. Rencana Ryuu adalah, agar mereka berdua melingkupi tubuh mereka dengan kulit dan darah dari jantung monster tersebut untuk berkamuflase agar tidak ketahuan oleh monster-monster di dalam koloseum. Ryuu mengajari Bell soal bagaimana cara mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan, seperti strategi kamuflase yang akan mereka lakukan sekarang. Kali ini, Ryuu juga mengingat percakapan yang dulu ia lakukan terkait hal ini dengan mantan rekan familia-nya, Lyra.
Sudah setengah jalan, dan rencana mereka masih berjalan mulus. Namun, karena memang banyaknya variabel acak yang bisa terjadi di tengah banyak kerumunan monster, salah satu monster yang mengira mereka sebagai monster lain langsung menyergap mereka berdua, dan pada akhirnya membuka penyamaran yang sedang mereka lakukan. Tak menunggu waktu lama, semua monster di dalam koloseum langsung menyerbu kedua petualang tersebut. Bell dan Ryuu langsung berlari, terus berusaha untuk menghindari pertarungan tidak perlu (toh monsternya juga tidak ada habisnya), hanya mengalahkan monster untuk membuka jalan menuju lorong yang terhubung ke lantai 36 saja.
Namun, mau bagaimanapun juga, mereka berdua juga kewalahan untuk menghadapi jumlah monster yang terlalu banyak. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari lorong tersebut, namun di saat yang bersamaan ratusan monster mengepung mereka dari depan dan belakang. Ryuu meminta Bell untuk membunuh para monster di depan, tepat di pintu masuk menuju lorong yang terhubung ke lantai 36. Sedangkan Ryuu sendiri berkata bahwa ia akan mengatasi para monster di belakang, yang masih berada di dalam Koloseum. Bell pada awalnya sempat menolak, namun Ryuu mengacuhkannya dengan langsung merapal mantra. Tanpa bertanya lagi, Bell langsung melakukan apa yang disuruh oleh Ryuu. Namun, begitu Bell hampir selesai dengan pertarungannya, ia melihat ke belakang sejenak.
Yang ia lihat di sana hanyalah Ryuu yang berdiri diselimuti oleh cahaya hijau, menatap ke arah Bell dengan tatapan yang menusuk. Ia menyelesaikan rapalan mantranya. Bell langsung paham apa yang akan terjadi, dan ia berteriak lantang. Namun, semua sudah terlambat.
Luminous Wind.
Ryuu mengarahkan semua proyektil Luminous Wind ke arah Bell. Membunuh semua sisa monster di depan, memutus jalan antara Koloseum dan lorong penghubung, juga mengempaskan Bell untuk masuk ke dalam lorong tersebut. Bell kini hanya bisa berteriak parau, memAndangi sosok Ryuu yang berdiri dikelilingi banyak monster dari kejauhan. Ia mengepalkan tangannya, kemudian memutuskan untuk berlari menyusuri lorong itu dengan wajah yang sangat terpukul.
Sementara itu, Ryuu berbalik badan, sendirian menghadapi ratusan monster lainnya yang ada di Koloseum. Ia sudah merasa lega. Ia sudah mengajarkan semua ilmu bertahan hidup di lantai dalam yang bisa ia ajarkan kepada Bell, dan kini adalah saatnya untuk membuat pengorbanan–seperti perkataan rekannya Kaguya dahulu. Ia memilih untuk mengorbankan dirinya sendiri setelah mengajarkan semua pengetahuannya kepada Bell, menuntaskan perannya. Sekarang, yang tertinggal hanyalah segunung penyesalan dengan apa yang terjadi dengan familia-nya di masa lalu, juga rasa bersalah ke diri sendiri yang begitu besar. Ryuu sudah tidak memiliki perlengkapan yang tersisa–seluruh batu ledaknya juga sudah ia gunakan saat tadi melarikan diri dari kejaran monster di dalam dan luar Koloseum. Meskipun begitu, Ryuu masih enggan untuk membiarkan para monster menghabisinya begitu saja, ia tetap akan bertarung sampai akhir.
Namun, karena memang dengan dirinya yang sudah kehabisan sihir dan tanpa perlengkapan apapun, kerumunan monster yang menggila di dalam Koloseum menjadikannya seperti mainan dan dengan mudah menghajar Ryuu kesana kemari sebelum membunuhnya.
Pada akhirnya, ia hanya bisa berbaring telentang di dasar Koloseum, menatapi langit-langit Koloseum dengan wajah yang pilu dan berharap kepada rekan-rekannya di Astrea Familia terdahulu untuk menghukumnya.
Duar.
Baru saja setelah Ryuu benar-benar sudah menyerah dengan keadaan, ada ledakan besar dari sisi samping Koloseum. Begitu melihatnya, Ryuu langsung sadar dengan apa yang terjadi. Ia hanya bisa memasang wajah yang dipenuhi rasa heran dan tidak percaya.
Sosok Bell muncul dari gumpalan asap yang dihasilkan dari ledakan tadi, dan ia meneriakkan nama Ryuu dengan lantang. Rupanya Bell mengambil jalan memutar dari lorong tadi untuk kembali menuju ruangan Koloseum. Ryuu tak bisa berhenti bertanya-tanya mengapa Bell harus menyelamatkannya di saat seperti ini, apalagi hanya untuk orang sepertinya. Berkali-kali Ryuu berteriak agar Bell tidak mendekat dan pergi, namun Bell sama sekali tidak menghiraukannya dan terus maju untuk menjemput Ryuu.
Namun, Bell bukannya tanpa persiapan juga. Ia menggenggam batu ledak terakhir miliknya di tangannya yang sudah terlingkupi oleh sihir Argo Vesta. Ia langsung melemparkannya sekuat tenaga ke arah kerumunan monster, kemudian melesat untuk menggenggam tangan Ryuu. Sebagai penutup, ia melepaskan Firebolt tepat ke arah batu ledak yang ia lempar tadi, dan efeknya luar biasa. Seketika, ledakan yang sangat besar melingkupi mayoritas area Koloseum.
Titik Terdalam (Tahap 3: Masa Lalu, Kebimbangan, dan Penyelamatan)
Ryuu sempat pingsan sebentar karena syok, sebelum kemudian membuka matanya tak lama kemudian. Begitu ia membukanya, betapa terkejutnya dirinya ketika melihat sosok Bell yang penuh luka-luka dan keberadaan monster yang sudah hilang. Mereka sekarang berada dalam sebuah ruangan kecil, dengan bagian belakang mereka benar-benar tertutup oleh bebatuan. Rupanya lantai Koloseum telah hancur akibat ledakan besar tadi, dan mereka berdua secara kebetulan terjatuh ke jalan yang ada tepat di bawah lantai Koloseum. Bell memasang senyum tegar, mengajak Ryuu untuk terus maju.
Bell menggendong Ryuu yang kakinya masih belum sembuh total setelah pertarungan di Koloseum tadi, berjalan perlahan menyusuri jalan itu. Ryuu dalam gendongan Bell hanya bisa terus mengeluh dan bertanya-tanya soal alasan mengapa Bell harus sampai rela bertaruh nyawa untuk menyelamatkannya. Bell, dengan wajah tenang, terus membantahnya dengan lembut. Bell mengatakan bahwa Ryuu akan melakukan hal yang sama apabila posisi mereka berbalik tadinya. Ryuu mengatakan bahwa hal itu salah dan ia tak akan menolong Bell, namun kembali lagi Bell mengatakan bahwa Ryuu hanya sedang berbohong.
Ryuu yang sudah mulai paham kalau Bell juga tidak akan mengalah, akhirnya meminta untuk ditinggalkan begitu saja. Ia merasa dirinya sangat tidak pantas untuk diselamatkan oleh Bell, dengan semua yang telah terjadi padanya dan yang ia lakukan selama hidupnya. Hingga pada akhirnya, Ryuu mengatakan keinginannya yang “sebenarnya” semenjak ia mengempaskan Bell menggunakan Luminous Wind di Koloseum tadinya.
“Biarkan aku mati di sini!”
Namun, Bell tetap bungkam. Ia terus mengacuhkan perkataan Ryuu, terus melangkah tanpa mengendorkan gendongannya sedikitpun. Sampai pada akhirnya, Ryuu pun mulai menjelaskan soal dosa-dosa yang telah ia lakukan di masa lalu, dan mengapa ia menganggap dirinya tak pantas lagi untuk hidup–terlebih setelah semua pengorbanan yang dilakukan Bell untuk menyelamatkan dirinya di lantai dalam ini.
Dari sinilah mulai diceritakan soal masa lalu Ryuu dengan Astrea Familia pada hari yang tragis itu. Namun, flashback ini tidak dimunculkan serta-merta begitu saja. Dari pembuka episode-episode sebelumnya, sudah sering ditampilkan beberapa cuplikan masa lalu interaksi Ryuu dengan para anggota Astrea Familia yang lain. Pengaruh anggota Astrea Familia di sini begitu kuat, tentunya yaitu dalam membentuk kepribadian Ryuu Lion yang penonton kenal hingga sekarang.
Kehidupan seorang Ryuu Lion bersama Astrea Familia pada awalnya tidak berjalan dengan begitu mulus. Saat berkenalan dengan Alise, pemimpin familia, Ryuu masih malu-malu dengan aura positif yang dipancarkan oleh Alise. Namun setelah mulai menjadi anggota familia secara resmi, Ryuu mulai sering berdebat dengan beberapa anggota familia lain–terutama dengan Kaguya, anggota familia dengan mulut paling pedas.
Perdebatan itu kebanyakan membahas soal perbedaan ideologi antara Ryuu dengan kebanyakan anggota familia yang lainnya. Ryuu yang percaya semua orang bisa diselamatkan tanpa terkecuali dalam suatu permasalahan, lalu dengan Kaguya yang percaya bahwa pasti ada saatnya di mana seseorang harus melakukan sebuah pengorbanan demi sesuatu yang mereka sayangi. Debat keduanya sering berjalan alot dan nyaris menjadi konflik yang bertensi tinggi.
Akhirnya, Ryuu pun lebih sering berkonsultasi dan mengobrol dengan Alise sebagai pemimpin Astrea Familia yang lebih friendly dan easy going terkait dengan perasaan gundah dalam hatinya soal ideologinya yang ditentang. Sebagai seorang pemimpin, Alise juga sering memberikan jawaban rasional yang mudah diterima oleh Ryuu, membuatnya semakin dihormati oleh Ryuu.
Tak hanya dengan mereka berdua, Ryuu juga terlihat berinteraksi dengan anggota familia yang lainnya. Semua orang masing-masing membawakan topik yang cukup berbeda. Berinteraksi dengan banyak orang yang memiliki perbedaan pandangan dan pendapat darinya, membuat Ryuu semakin bersemangat untuk belajar lebih banyak lagi dan juga membuatnya semakin hormat dengan seluruh anggota familia–tak terkecuali dengan Kaguya, yang sebelumnya ia benci. Perlahan, seluruh interaksi ini mulai membangun kepribadian Ryuu yang selalu berpikir rasional, berusaha mengambil keputusan yang terbaik, melakukan observasi dengan saksama, hormat dengan banyak orang lain, dan lain sebagainya.
Kembali lagi ke klimaks dari flashback ini. Pada hari itu, Astrea Familia sedang berada di lantai 30. Mereka semua sedang berusaha untuk tidak terkena imbas dari rentetan ledakan yang disiapkan oleh Rudra Familia yang dipimpin oleh Jura.
Setelah rentetan ledakan itu selesai, semua anggota Astrea Familia masih baik-baik saja, dan sekarang mengancam balik Rudra Familia karena sudah membuat kekacauan. Namun, tepat setelah Astrea Familia bisa mulai melancarkan serangan, mulai terdengar suara rintihan nyaring yang menggema di seluruh penjuru. Tidak ada yang tahu suara apa itu, namun semuanya merasakan firasat yang tidak nyaman. Rudra Familia sudah terlanjur kabur duluan, meninggalkan Astrea Familia di lantai 30 ini. Baru kemudian, tiba-tiba ada sesuatu muncul dari langit-langit ruangan. “Sesuatu” itu adalah Juggernaut yang muncul diakibatkan oleh kerusakan dungeon yang parah. Juggernaut langsung membabi buta, menyerang satu per satu anggota Astrea Familia tanpa ampun. Karena kemunculannya yang begitu mendadak, lebih dari setengah anggota Astrea Familia langsung terbantai dalam sekejap–menyisakan Ryuu, Kaguya dengan tangan kanan yang terpotong, Lyra yang matanya terbakar, dan Alise dengan perutnya yang tertusuk.
Dengan rencana seadanya yang bisa mereka pikirkan di saat genting itu, ketiga orang yang terluka (Kaguya, Lyra, dan Alise) semuanya setuju untuk mengorbankan diri mereka semua demi Ryuu agar bisa menyelamatkan diri–berhubung sekarang kondisinya sedang syok berat atas semua yang terjadi secepat ini. Ryuu tentu saja menolak mentah-mentah rencana itu pada awalnya, dan Kaguya sempat bertanya bahwa apabila mereka harus berkorban, bukankah nyawa seorang pemimpin seperti Alise yang seharusnya diselamatkan?
Alise kemudian menjelaskan bahwa ia sendiri tidak pernah tahu jawaban yang bisa ia berikan tentang keadilan yang benar. Namun apabila itu Ryuu, maka Alise percaya bahwa Ryuu akan terus memilih pilihan yang benar dan terus berpegang teguh kepada keadilan yang ia percayai bersamaan dengan Dewi Astrea. Kemudian Alise meminta Ryuu untuk mulai membaca mantra sihir Luminous Wind miliknya, yang ia percayai bisa melukai “bencana” itu dengan parah selagi mereka membuka celah bagi Ryuu untuk melepaskannya. Alise, Kaguya, dan Lyra pun mengucapkan perpisahan mereka kepada Ryuu. Mereka semua tetap tersenyum tegar, meyakinkan Ryuu agar bisa terus melanjutkan hidup dan melanjutkan warisan Astrea Familia ke depannya.
Ryuu pun mulai mengucap mantra Luminous Wind dengan terisak dan penuh rasa sakit. Lyra langsung menyergap dan langsung tercabik-cabik oleh Juggernaut itu, namun memang itulah tujuannya dari awal. Lyra sudah membawa banyak batu ledak yang ia persiapkan–kurang lebih menjadi berfungsi seperti bom bunuh diri. Batu ledak itu mengalihkan perhatian Juggernaut untuk sejenak, juga sedikit melukai tubuh monster itu. Kemudian Kaguya melanjutkan serangan dengan memotong salah satu kaki Juggernaut, namun ia juga langsung tercabik-cabik oleh Juggernaut setelahnya. Terakhir, Alise menyelimuti dengan sihir api miliknya, Agaris Alvesynth, yang meningkatkan seluruh kemampuan bertarungnya dengan drastis. Ia kemudian beradu serang dengan Juggernaut untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya kembali tertusuk di perut untuk kedua kalinya. Namun kali ini, kembali lagi memang ini tujuan yang ingin dicapainya. Setelah tertusuk, Alise langsung melepaskan dirinya dan bisa langsung masuk menembus mekanisme pemantulan sihir yang dimiliki oleh Juggernaut. Ia pun meletakkan kedua tangannya di tubuh Juggernaut, melepaskan sihir Arvelia, yang membuat ledakan besar secara langsung kepada tubuh Juggernaut, sekaligus menghancurkan lapisan mekanisme pemantulan sihir yang dimilikinya dari dalam. Ryuu, dengan deraian air mata dan suara yang sudah tak kuasa menahan perasaan sesak dan sakit, akhirnya menyelesaikan mantranya.
Luminous Wind.
Puluhan gumpalan angin bercahaya hijau pun mulai beterbangan menghantam Juggernaut, sekaligus Alise yang masih berada di dekatnya. Sihir berskala besar itu efektif melukai Juggernaut hingga membuatnya ketakutan dan kabur, namun juga membunuh Alise secara seketika di tempat. Begitu Juggernaut kabur, Ryuu menyaksikan dengan sekilas jasad rekan-rekannya yang sudah terbunuh dengan brutal dengan mata kepalanya sendiri dan langsung melarikan diri dari dungeon, mengingat rekan-rekannya yang barusan menyuruhnya untuk tidak mati sia-sia di tangan Juggernaut.
Setelah beberapa hari menyembuhkan diri di kota dari luka yang ia dapatkan, Ryuu langsung beranjak untuk kembali ke lantai 30 dungeon untuk mengubur jasad rekan-rekannya yang ia tinggal begitu saja kemarin. Ia datang dan langsung bergerak menuju lokasi medan pertempuran yang ia jalani kemarin. Dan ketika datang, ia sama sekali tak bisa memercayai apa yang sedang ia lihat.
Dari keseluruhan medan pertempuran, yang tersisa hanyalah senjata para rekan-rekannya yang tertinggal dan terhunus di atas tanah. Tidak ada jasad dari rekan-rekannya yang tersisa. Bahkan tulang pun tak bersisa. Ryuu berpikir bahwa itu pasti ulah para monster di lantai tersebut. Kemudian ia juga menemukan tumpukan abu berwarna putih, yang ia asumsikan merupakan sisa-sisa dari Juggernaut. Dari melihat pemandangan itu, Ryuu langsung diisi oleh berbagai macam perasaan. Perasaan menyesalnya karena ia seharusnya lebih berani untuk melawan Juggernaut. Perasaan menyesalnya karena ia sebenarnya sudah siap mati pada pertempuran terakhir mereka. Perasaan bersalah karena ditinggal hidup sendirian oleh semua rekan-rekannya.
Pada akhirnya, Ryuu hanya bisa membuat kuburan kosong untuk semua anggota Astrea Familia pada lantai 18 dungeon, dengan menancapkan seluruh senjata mereka di atas gundukan kuburannya. Dari sini, ia mulai terikat oleh dua beban yang saling berkebalikan. Yang pertama adalah beban untuk terus melanjutkan hidup yang harus terus ia tanggung dari permintaan seluruh mantan rekannya. Kemudian, yang kedua adalah beban dari dirinya sendiri yang terus mengharapkan kematian, namun tidak bisa melakukannya. Kedua hal ini terus menghantui Ryuu, dan membuatnya terus tersiksa. Apabila disimpulkan, ini adalah sebuah kasus survivor guilt yang cukup ekstrem.
Rasa sakit itu terus menumpuk di dalam hatinya, yang kemudian membuatnya mulai memiliki dorongan-dorongan kejahatan. Pandangannya mulai sempit, dan ia hanya memikirkan balas dendam bagi Rudra Familia yang sudah menyebabkan kemunculan Juggernaut pada hari itu. Ryuu sendiri juga sadar, bahwa tidak ada keadilan ataupun niat baik dalam semua ini. Semuanya hanyalah kebencian yang ia luapkan. Ia bahkan sampai meminta kepada Dewi Astrea untuk meninggalkan Orario, agar tidak ada yang bisa melihat dan mengganggu rencana balas dendam yang ingin ia lakukan. Pada akhirnya, Dewi Astrea menerima permintaan dari Ryuu, dan memintanya untuk membuang “keadilannya”. Ryuu juga masih mendapatkan berkat dari Dewi Astrea, yang ia anggap sebagai rasa kasihan dari Dewi Astrea kepadanya.
Dari situlah, masa kegelapan dalam kehidupan Ryuu dimulai. Ia mulai menggila dari dorongan jahatnya. Ia mulai membasmi segala hal yang berhubungan dengan Rudra Familia dan Evilus. Tidak peduli apakah dia memang orang yang jahat atau sekadar orang yang dicurigai terlibat dengan Rudra Familia, Ryuu tidak pilih kasih dalam memburu musuhnya. Ia membakar bangunan, membunuh, menyiksa, dan menghancurkan semuanya tanpa belas kasihan. Ia melakukannya dengan segala cara; menyergap, menyerang secara diam-diam, memasang jebakan. Semua yang bisa ia lakukan untuk bisa membalas dendam kepada musuh-musuhnya. Ia juga melakukannya dengan cepat dan tersembunyi sebelum para familia lain bisa ikut campur dan mengganggunya kemudian. Dari situlah masyarakat luas mulai mengenal alter ego yang ia miliki dengan julukan “Si Angin Kencang”. Ia terus melakukan ini dengan mengabaikan semua ide keadilan yang ia miliki, terus mencari tempat untuk mati.
Sampai puncaknya, pada suatu malam. Ryuu berhasil menemukan Jura, pemimpin para anggota Rudra Familia yang bertanggung jawab atas munculnya Juggernaut yang melenyapkan keseluruhan Astrea Familia. Ia tanpa ampun menghabisinya, menusuk badannya berkali-kali tanpa belas kasihan. Setelah merasa puas, ia pun pergi meninggalkan TKP yang sudah terluluhlantakkan oleh perbuatan Ryuu. Namun sebelum pergi, tiba-tiba Dewa Rudra sendiri menampakkan batang hidungnya. Ia menyeringai sembari melihat raut wajah Ryuu yang dipenuhi kebencian dan amarah, bahkan membolehkannya untuk masuk ke dalam familia-nya karena sebab itu. Ryuu sempat menghadapkan belatinya ke arah Dewa Rudra, namun ia mengurungkannya dan pergi–membiarkan guild untuk mengurusnya.
Setelah semua musuhnya sirna, sekarang Ryuu menjadi penuh dengan kebimbangan. Ia melakukan semua balas dendam itu juga sekaligus sambil mencari tempat untuk mati–barangkali ia terbunuh di tengah prosesnya. Namun itu tidak terjadi, dan ia masih bernapas sekarang. Ia penuh dengan kehampaan, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Apakah ia harus terus hidup demi meneruskan warisan yang ditinggalkan mantan rekan-rekannya, atau haruskah ia mati untuk menebus segala dosa yang telah ia lakukan hingga sekarang.
Namun kemudian barulah pada saat itu, Syr sedang berpapasan dengan Ryuu dan mereka berdua saling bertemu untuk pertama kalinya. Syr pun mengulurkan tangan untuk “menyelamatkan” Ryuu pada saat itu, dan Ryuu pun mengambil tangan tersebut. Meskipun selama ini mungkin ia merasa itu sebagai sebuah bentuk “penyelamatan” untuk dirinya, namun dari lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa uluran tangan Syr pada saat itu sebenarnya tidak ingin ia raih. Pada akhirnya, ia tidak bisa terus mengutuk dirinya sendiri seperti yang selalu ia lakukan selama ini.
Akhirnya, kesadaran Ryuu berpindah ke sebuah tempat lain. Ia bangun di tepi sebuah sungai, dan di hadapannya adalah seluruh mantan rekan-rekannya di Astrea Familia di seberang sungai yang tampak sebagai perwujudan Sungai Sanzu dalam kondisi ini. Apabila ada dari kalian yang tidak tahu, Sungai Sanzu adalah sungai dari mitologi Buddha yang mirip dengan Sungai Styx pada mitologi Yunani. Sungai ini memiliki simbol sebagai pemisah antara roh yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Apabila seorang yang masih hidup menyeberangi sungai itu, maka ia akan berubah menjadi orang-orang yang sudah mati.
Ryuu terus memanggil nama mereka semua, dan terus meminta untuk membawanya ke seberang sungai. Hal ini tentunya menyiratkan bahwa Ryuu yang selalu mencari kematian semenjak tragedi hari itu, namun selalu tidak bisa melakukannya juga karena terus dibebani oleh pengorbanan mantan rekan-rekannya. Pada akhirnya setelah terus berteriak memanggil, semua rekan-rekannya yang berada di seberang sungai tak menjawab panggilan Ryuu sama sekali, hanya balik menatap Ryuu datar dan kemudian berbalik badan.
Sampai sinilah seluruh masa lalu Ryuu yang membuatnya menjadi sosoknya yang sekarang. Semua kesenangan, kebahagiaan, penderitaan, dan mimpi buruk yang terus membawanya hingga sekarang. Sampai poin ini Bell masih belum mengetahui soal semua ini, Ryuu hanya terus mengatakan semua hal buruk yang telah ia lakukan setelah ia mulai dikuasai oleh dorongan jahatnya dulu–seperti membunuh orang, melakukan segala macam tindak kejahatan, dan lain sebagainya. Ia bahkan juga mengakui bahwa itu semua bukan atas nama keadilan apapun–itu semua hanyalah tindak kejahatan tanpa alasan mulia apapun. Ryuu sudah membuang “keadilan” yang terus ia pegang, semenjak pertemuan terakhirnya dengan Dewi Astrea dahulu. Padahal, itu adalah warisan yang diharapkan oleh rekan-rekan Ryuu untuk terus ia bawa di masa depan. Sampai pada akhirnya, ia mengatakannya dengan lirih.
“Aku sudah tidak memiliki keadilan apapun lagi yang tersisa di dalam diriku. Aku tidak layak diselamatkan olehmu, Bell.”
Akan tetapi, setelah perkataan itu, Bell hanya menjawab bahwa ia tidak terlalu paham dengan keadilan dan sebagainya. Namun, ia berkata bahwa semua hal yang sudah Ryuu berikan kepadanya, juga sebagai bentuk dari sebuah keadilan. Entah itu pada saat Ryuu menyelamatkannya, atau rekan-rekannya pada Hestia Familia, ataupun para petualang lainnya. Bahkan bagi Bell, saat sedang menyelamatkan dirinya ataupun orang lain, Ryuu selalu terlihat seperti seorang pahlawan yang sedang menyelamatkan orang lain atas nama keadilan. Ryuu langsung menyangkal semua pujian itu, namun Bell langsung memotong perkataannya dan berkata bahwa ia akan selalu memercayai semua itu dan tidak akan membiarkan siapapun menyangkalnya, bahkan walaupun itu Ryuu sendiri.
Hal ini akhirnya membuat wajah Ryuu untuk memerah seperti tomat di dalam gendongan Bell. Bell lanjut menjelaskan, bahwa ia memang tidak tahu seperti apa Ryuu di masa lalu, dan apa yang telah ia lalui hingga sekarang. Ia juga menjelaskan, bahwa sangat mungkin bagi semua orang, tidak terkecuali Ryuu, untuk salah bertindak pada suatu masa di hidup mereka. Namun, itu semua adalah sosok Ryuu yang tidak pernah Bell jumpai. Sosok Ryuu yang Bell kenal dan ketahui, adalah sosok yang selalu memilih pilihan yang benar. Jadi, Bell menganggap Ryuu bahwa ia tidak pernah meninggalkan keadilan yang ia miliki sebelumnya. Bell terus percaya, bahwa keadilan itu terus hidup dan ada di dalam sosok seorang Ryuu Lion yang sekarang.
Semua perkataan Bell tersebut membuat Ryuu berlinang air mata, mengingat bahkan setelah ia dengan terang-terangan mengakui semua perbuatan jahatnya di masa lalu di hadapan Bell secara langsung, Bell langsung membantahnya dan justru bisa terus memberikan kalimat-kalimat penyemangat untuk Ryuu, bahkan bisa kembali meyakinkan dan kembali menyadarkan Ryuu bahwa ia sebenarnya masih memiliki keadilan di dalam dirinya, yang selama ini orangnya sendiri terus menganggap bahwa ia sudah membuangnya dan tidak pernah menyentuhnya lagi sejak hari itu.
Ryuu terus meneteskan air mata dalam diam, kata-kata Bell barusan sama persis dengan perkataan Alise dahulu yang mengatakan bahwa ia percaya Ryuu akan terus membuat pilihan yang benar sepeninggal dirinya dan seluruh rekan-rekan familia-nya. Dari situ pun, Ryuu mulai berkata dalam hati. Ia berkata kepada Alise, bahwa apabila itu bersama dengan Bell, mungkin ia bisa kembali lagi ke jalan yang benar.
Dan tepat setelah itu, tiba-tiba reruntuhan yang memisahkan jalan yang sekarang mereka berdua lalui dengan lantai Koloseum mulai terbuka, dan seekor Barbarian berhasil menyelinap masuk. Barbarian itu langsung berlari mengejar, dan dalam sekejap berhasil untuk masuk ke dalam jangkauan untuk menyerang Bell dan Ryuu. Barbarian tersebut langsung mengangkat lengannya, bersamaan dengan Bell yang menurunkan Ryuu dari gendongannya. Bell pun terpaksa untuk menerima pukulan telak dari Barbarian tersebut, dan terempas ke dinding di belakangnya–membuatnya terkapar di atas tanah. Bell tak kunjung bangkit, dan Ryuu yang masih sulit untuk menggerakkan kakinya hanya bisa meminta Bell untuk bangun dengan meneriakkan namanya sambil tengkurap di atas tanah.
Namun, di sinilah perkembangan cerita berlanjut dari pada saat mereka berdua tadinya hendak saling meminum rebusan Ooze. Mungkin bagian ini agak sulit untuk dijelaskan apabila tidak menjelaskan soal konteksnya dalam Bahasa Jepang terlebih dahulu. Jadi, di animanga dan di Jepang pada umumnya, memanggil nama orang lain dengan nama pertama mereka biasanya hanya dilakukan bagi kedua orang yang sudah saling merasa dekat satu sama lain untuk bisa menggunakannya. Di seri DanMachi sejauh ini, Bell selalu menggunakan sebutan “Ryuu-san” untuk memanggil Ryuu–sebuah panggilan yang dekat karena menggunakan nama depan, namun juga masih sopan karena masih menggunakan akhiran “-san”. Di lain sisi, Ryuu selalu menggunakan sebutan “Cranel-san” untuk memanggil Bell–menggunakan nama belakang dan akhiran “-san”, yang bersifat sopan dan profesional, namun terkesan kurang dekat.
Setelah beberapa kali memanggil Bell dengan menggunakan “Cranel-san” dan masih tak kunjung bangun, tanpa sadar Ryuu langsung berubah menggunakan panggilan “Bell”. Panggilan ini hanya berisikan nama depan dan sudah tanpa menggunakan akhiran, mengindikasikan Ryuu yang secara refleks dan tanpa sadar sudah menganggap Bell sebagai sesosok orang yang penting dan begitu dekat dalam hidupnya.
Sayangnya, bahkan setelah mengubah panggilannya dan berteriak berulang kali, Bell tak kunjung bangkit. Barbarian itu mendekati Bell yang terkapar, mencengkeram kepala Bell dan mengangkat tubuhnya. Semakin lama, Ryuu semakin tidak percaya apa yang sedang ia lihat sekarang. Begitu Barbarian itu membuka mulutnya dan hendak melahap Bell, semua momen tragedi pembantaian Astrea Familia di masa lalu langsung tebersit dalam ingatannya–mengingatkannya akan fakta bahwa seseorang yang penting dalam kehidupannya akan kembali direnggut darinya lagi. Ia pun mengeluarkan teriakan putus asa terakhir yang begitu parau.
“BELL!!!”
Jleb.
Dan dalam sekejap, Barbarian itu mati begitu saja. Ryuu yang melihatnya pun kebingungan dengan apa yang terjadi. Bell mulai bangun dan meminta maaf, berkata bahwa ia sebenarnya selalu sadarkan diri sedari tadi dan mendengar semua teriakan Ryuu, namun ia memilih untuk berpura-pura tak sadarkan diri agar bisa membuat Barbarian itu lengah dan akhirnya bisa membunuhnya dengan serangan kejutan pada titik vital dalam sekali serang.
Setelah mendengar hal tersebut, wajah Ryuu langsung kembali memerah tomat dan ia menundukkan kepalanya, dipenuhi rasa malu. Terlebih lagi, Bell sebenarnya justru sedang mengimplementasikan apa yang sudah diajarkan Ryuu selama mereka menelusuri lantai 37, yaitu untuk memanfaatkan lingkungan sekitar agar bisa mengalahkan musuh dan monster dengan efektif. Ryuu merasa sebal dan ia meminta kepada Bell untuk tidak mengulangi hal tersebut. Bell juga paham bahwa yang seperti itu akan membuat orang lain untuk cemas setengah mati, dan ia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Dari sinilah kemudian, Ryuu mulai secara emosional merasa lebih dekat dengan Bell. Ia selama ini terus melihat keberadaan Bell sebagai sesosok yang perlu dilindungi masa depannya semenjak ia masih menjadi seorang petualang pemula, namun dari semua yang sudah mereka berdua lalui pada lantai 37 ini membuatnya sadar akan banyak hal. Ryuu mulai sadar bahwa Bell terus berkembang dengan pesat ketika ia mengalihkan pAndangannya untuk sejenak–ia yang sekarang sudah menjadi seorang petualang level 4 yang sama dengannya, bahkan sering kali melindunginya selama mereka berusaha bertahan hidup di lantai 37 ini.
Kemudian sosok Bell yang juga sangat peduli dengan Ryuu dan bahkan berani untuk terus mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya–mengingat mereka berdua yang cukup jarang bertemu sebelumnya. Bahkan setelah Ryuu mulai menceritakan soal kejahatan yang sudah ia lakukan di masa lalu dan merasa ingin dihukum oleh kematian, Bell bahkan bisa memberikan kalimat-kalimat penyemangat ketika dirinya sedang berada dalam titik terbawah dalam hidupnya. Semua itu membantunya untuk bangkit kembali, mengembalikan keinginan untuk meneruskan hidup, yang tentunya untuk terus menjunjung keadilan yang ia bangga-banggakan di masa lalu dan juga masa sekarang. Semua ini membuat Ryuu semakin sadar akan sosok Bell yang mulai berubah menjadi sosok penting yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya, juga sebagai keberadaan yang bisa diAndalkan apabila ia sedang tidak berada dalam kondisi terbaiknya.
Titik Terdalam (Tahap 4: The Calm Before the Storm)
Mereka berdua yang terus berjalan menyusuri jalan tersembunyi itu akhirnya mulai melihat sesuatu yang berbeda setelah beberapa saat berjalan. Mereka melihat sebuah cahaya biru di ujung jalan. Setelah mengeceknya, rupanya cahaya tersebut berasal dari sebuah mata air yang tersembunyi.
Bahkan Ryuu tidak pernah tahu soal tempat ini. Kemungkinan tempat ini tidak pernah terekspos dan ditemui oleh para petualang adalah disebabkan karena tempatnya yang berada tepat di bawah lantai Koloseum berada, di mana para petualang cenderung berusaha untuk tidak mendekat dan berurusan sedikitpun dengan tempat tersebut.
Namun mau bagaimanapun juga, mereka berdua harus beristirahat. Serangkaian kejadian yang mereka lalui semenjak melalui Koloseum tadi memang belum bisa mengizinkan mereka berdua untuk tetap tenang. Mata air tempat mereka berdua berada sekarang cukup terpencil dan tidak melahirkan monster di dalamnya, menjadikannya tempat dengan kemungkinan terbaik untuk beristirahat semenjak mereka berdua terjatuh dari ledakan besar di lantai Koloseum tadi.
Bell yang akhirnya bisa merasa lebih rileks langsung tumbang, dan Ryuu langsung bergerak cepat untuk melepas jubahnya, kemudian sigap menopangnya agar tidak terjatuh. Mereka berdua pun kini tercebur ke atas mata air tersebut. Ryuu langsung menggunakan sihir penyembuh yang ia miliki untuk menyembuhkan luka-luka Bell hingga sembuh seluruhnya. Kemudian ia mencicip sedikit air dari mata air tersebut, kemudian memutuskan bahwa air itu aman dan bisa diminum. Ia mengambil dan meminumkannya ke mulut Bell yang sedang sangat kelelahan, berharap untuk membuatnya lebih baik. Bell pun kembali bangun, membuat Ryuu memasang wajah senang.
Setelah itu, mereka berdua membuat sebuah api unggun kecil yang dinyalakan menggunakan sihir Firebolt milik Bell. Sejauh ini, tidak ada tAnda-tAnda keberadaan monster yang mendekat sama sekali, sehingga mereka berdua benar-benar memutuskan tempat ini sebagai tempat untuk beristirahat sejenak. Kemudian, Ryuu menyarankan bagi mereka berdua agar melepas pakaian mereka untuk mengeringkannya, kemudian juga sekaligus untuk menghangatkan tubuh mereka dengan api unggun yang mereka buat–karena berada dalam kondisi kelelahan di lantai dalam dungeon dengan suhu tubuh yang menurun akan berisiko besar terhadap kemungkinan bertahan hidup mereka.
Sejauh ini, ketika menonton anime DanMachi musim keempat bagian kedua ini, penonton sudah banyak disuguhkan dengan rangkaian kejadian epik, heroik, dan penuh tensi dari semua tokoh yang tampil di layar. Semuanya cenderung membuat penonton menjadi sangat immersed ke dalam cerita yang sedang disuguhkan, dan merasa sangat emotionally attached dengan karakter yang sedang berperan di layar. Mulai dari bertahan hidup di fase-fase awal setelah terjatuh ke lantai dalam, kemudian belajar bertahan hidup dan beradaptasi dengan berbagai macam monster, momen hidup-mati ketika berada di Koloseum, sampai sekarang. Dari semua rangkaian kejadian itu, tentunya juga banyak character development yang telah dibangun secara perlahan, namun pasti. Salah satu yang paling mencolok tentunya ada pada Ryuu Lion.
Dimulai dari sejak pertemuan pertamanya dengan Bell di musim-musim anime DanMachi sebelumnya sebagai maid di sebuah bar, kemudian berpapasan beberapa kali dan menolong Bell sebagai petualang yang masih pemula di dalam dungeon, kemudian di akhir musim keempat DanMachi di mana Ryuu mulai dicurigai sebagai pembunuh berantai dan Bell yang terlibat di dalamnya. Apalagi dengan seluruh kejadian yang terjadi sejak Bell dan Ryuu melawan Jura, hingga terjatuh ke lantai dalam. PAndangan Ryuu terhadap kehidupan, dan yang tentunya juga kepada Bell, telah banyak berubah.
Semenjak kejadian indirect kiss, kemudian Ryuu yang mulai memanggil Bell dengan nama pertamanya setelah mereka berdua berjalan menyusuri jalan di bawah lantai Koloseum. Bahkan sekarang setelah momen penuh tensi dengan Barbarian itu berlalu, Ryuu tidak pernah memanggil Bell dengan “Cranel-san” lagi. Ryuu terus menggunakan “Bell” untuk memanggil Bell sekarang, yang memang mengindikasikan bahwa Ryuu benar-benar peduli dengan keberadaan sosok Bell yang sekarang.
Semua character development ini tentunya, apalagi kalau bukan, peningkatan afeksi dan rasa kasih sayang dari seorang Ryuu terhadap Bell. Semenjak mereka berdua jatuh ke lantai dalam dungeon ini, Ryuu selalu berpikiran negatif dan masih tersiksa oleh masa lalunya. Sosok yang berhasil membawa Ryuu untuk move on dan berusaha menjadi sosok yang lebih baik setelah semua itu adalah tidak lain dan tidak bukan, Bell sendiri. Ryuu masih belum sadar diri akan semua hal ini, karena memang ini baru pertama kali ia mengalaminya. Namun memang sudah jelas terlihat dari gelagat perilakunya setelah mereka berdua menemukan mata air itu, bahwa sosok Ryuu yang serba cool, keren, dan tegas, telah banyak berubah.
Momen Bell dan Ryuu di mata air ini menunjukkan banyak interaksi penuh kecanggungan antara Bell yang memang (masih) polos apabila berhubungan dengan perempuan, dan Ryuu yang juga tidak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Setelah mereka berdua melepas masing-masing baju mereka, Bell dan Ryuu hanya bisa saling membelakangi satu sama lain. Bell menawarkan Ryuu untuk mengenakan jubahnya untuk menghangatkan diri, karena jubahnya masih kering karena Ryuu langsung melepasnya sebelum tercebur ke mata air untuk menopang Bell yang pingsan.
Ryuu yang tentunya merasa sangat malu dengan semua ini awalnya menolaknya, namun Bell juga bersikeras untuk membantu Ryuu. Suasana di dalam ruangan dipenuhi oleh kecanggungan–mau bagaimana lagi, Ryuu dan Bell masing-masing sedang bertelanjang dada di sebuah ruangan terpencil yang terletak di lantai bagian dalam dungeon. Mereka berdua terus berdebat tentang siapa yang akan mengenakan jubah itu, namun akhirnya Ryuu menerimanya karena Bell yang terus bersikeras.
Setelah itu, situasi antar mereka berdua kembali lagi menjadi canggung, dengan keduanya yang saling duduk membelakangi satu sama lain. Ryuu masih belum bisa merasa tenang dari semua situasi kali ini, ia sama sekali tidak bisa mengabaikan keberadaan Bell di dekatnya sekarang–juga mengingat fakta bahwa mereka berdua sekarang juga sedang bertelanjang dada. Situasi ini jauh berbeda dari ketika Bell yang dulunya sempat mengintip Ryuu yang sedang mandi di beberapa musim sebelumnya, dan tentunya perbedaan ini disebabkan oleh peningkatan rasa afeksi dari Ryuu terhadap Bell yang masih belum ia sadari sekarang.
Setelah beberapa saat merasa malu, Ryuu mulai sadar bahwa sekarang bukan waktunya untuk tenggelam dalam semua kecanggungan ini. Ia mulai menanyakan sesuatu yang penting kepada Bell. Ia menanyakan, mengapa Bell harus kembali untuk menjemput Ryuu di Koloseum tadinya. Ryuu juga menanyakan apakah Bell memang sudah tahu keberadaan jalan tersembunyi di bawah lantai Koloseum tadinya, sebagai rencana untuk melarikan diri yang bagus. Ryuu mungkin sudah menanyakan hal yang sama tadinya, namun kali ini berbeda. Sekarang, Ryuu sudah mulai lebih tenang, bisa berpikir lebih rasional dan logis, dan mengesampingkan emosi-emosi lainnya saat ia sedang menganalisis sesuatu. Ia benar-benar penasaran–karena dari apa yang dilakukan Bell di Koloseum tadi, apabila mereka melakukan sedikit saja kesalahan, mereka berdua bisa benar-benar mati di sana.
Bell hanya menjawab bahwa ia sama sekali tidak tahu soal keberadaan jalan tersembunyi itu, dan ia hanya beralasan bahwa ia tidak ingin ada orang yang mati ketika ia berada di dekatnya. Jawaban ini sungguh mengagetkan Ryuu, namun ia juga lebih-kurang paham bahwa ini memang sangat mungkin terjadi apabila membicarakan Bell. Jadi, Bell benar-benar menyelamatkan Ryuu di Koloseum tadinya tanpa rencana apa-apa, dan ia melakukannya hanya semata karena ia tidak ingin Ryuu mati begitu saja ketika ia bisa menyelamatkannya saat itu. Dari sini, perasaan afeksi Ryuu ke Bell pun kembali naik ke tingkatan yang lebih tinggi.
Setelah semua yang mereka berdua lalui dan konfirmasinya barusan soal ketulusan Bell untuk menolongnya, Ryuu akhirnya memutuskan untuk bercerita soal masa lalunya bersama Astrea Familia, yang mana Bell langsung setuju untuk mendengarkannya. Ini tentunya adalah sebuah perkembangan yang serius, mengingat masa lalu Ryuu dengan Astrea Familia adalah sebuah “aib” bagi Guild karena keterlibatan Juggernaut, dan tentunya merupakan topik yang sangat sensitif bagi Ryuu secara personal. Hal ini bisa dilihat dari saat mereka sebelum memasuki Koloseum, Bell sempat hendak bertanya soal apa yang terjadi kepada Astrea Familia di masa lalu, namun saat itu Ryuu masih enggan untuk menceritakannya.
Setelah menceritakannya, Bell yang sudah memiliki gambaran jelas soal semua yang terjadi pun menegaskan kembali bahwa semua yang diceritakan Ryuu hanya memperkuat argumennya sebelumnya. Memang paling benar untuk membantu Ryuu tetap hidup, demi semua mantan rekan-rekannya yang sudah berkorban nyawa untuknya. Apabila Ryuu hanya menyerah saja kepada kematian di tengah jalan, Bell yakin bahwa rekan-rekannya itu akan memarahinya. Semua perkataan Bell membuat wajah Ryuu memerah dan membuatnya menundukkan kepalanya. Ryuu mengatakan, bahwa ia merasa aneh bahwa dadanya sekarang terasa panas, padahal sekujur tubuhnya terasa dingin. Tanpa perlu dijelaskan, seharusnya para pembaca di sini sudah paham betul lah, ya, dengan apa yang sedang Ryuu rasakan.
Dari sini memang benar, Bell mengatakan hal yang sama seperti yang ia katakan ketika ia sedang menggendong Ryuu menuju ke ruangan air mata tadinya. Namun, kali ini situasinya berbeda. Ryuu sudah jauh lebih tenang, dan Bell juga akhirnya bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan semua masa lalu kelam Ryuu. Hal ini membuat apa yang dikatakan Bell kepada Ryuu sekarang menjadi sebuah bentuk “pengakuan” atau validasi yang benar-benar meyakinkan Ryuu bahwa terus bertahan dan melanjutkan hidup adalah pilihan yang tepat. Dan tentunya, hal ini membuat Ryuu kembali memerah, kemudian juga rasa afeksinya kepada Bell yang kian memuncak.
Hingga puncaknya adalah, ketika Ryuu tiba-tiba meminta Bell untuk saling menghangatkan tubuh dengan cara menempelkan tubuh mereka yang sedang dalam kondisi bertelanjang dada satu sama lain, kulit-dengan-kulit. Ryuu berdalih bahwa apa yang mereka lakukan sekarang kurang efisien dalam menaikkan suhu tubuh, sehingga ia mengajukan ide ini. Tentunya ada beberapa penolakan halus dari Bell yang polos pada awalnya, dan mereka berdua berdebat cukup panjang kali ini.
Menurut penulis sendiri, alasan mengapa Ryuu mengajukan hal ini bisa terjadi karena dua hal. Yang pertama adalah karena memang dari build-up character development Ryuu yang selama ini membuatnya merasa semakin dekat kepada Bell yang pada puncaknya membuat pikiran impulsifnya keluar begitu saja, untuk mendekatkan diri secara fisik agar bisa merasa lebih intim dengan Bell. Namun di saat yang bersamaan, semua ini bisa saja memang terjadi karena faktor yang kedua, yaitu memang Ryuu yang berpikiran rasional memang benar-benar menyimpulkan bahwa kondisi mereka sekarang memang tidak efisien untuk menghangatkan tubuh masing-masing dari mereka, sehingga solusi untuk saling menempelkan tubuh yang ia tawarkan tadi adalah solusi yang paling efisien–penulis juga paham dengan keputusan ini, di luar kecanggungan yang memang pastinya akan terjadi di antara mereka berdua. Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa ajakan Ryuu ini memang terjadi karena dua faktor ini yang saling melengkapi.
Ryuu tentunya juga merasa sangat malu dan seluruh wajahnya memerah seperti tomat. Perkataannya terbata-bata, dan ia juga sempat mengatakan soal Bell yang mungkin tidak mau melakukannya karena tubuhnya yang kurang menarik. Namun, pada akhirnya Bell hanya menertawakan seluruh kecanggungan itu dan bisa mulai menerima tawaran Ryuu tersebut. Ryuu tanpa ragu langsung melepaskan jubah yang ia kenakan, memperlihatkan punggungnya yang mulus tanpa berbalut apa-apa di hadapan Bell. Sekarang, ia benar-benar yakin bahwa ia tidak akan keberatan dengan saling menempelkan tubuh secara langsung dengan Bell. Bell melihat Ryuu sebenarnya juga sedikit menggigil karena suhu tubuhnya yang rendah, dan akhirnya juga menerima tawaran Ryuu untuk saling menghangatkan diri.
Bell memeluk Ryuu perlahan dengan tangan kanannya, mengambil jubah yang tergeletak di tanah, kemudian mereka berdua duduk dengan jubah yang melindungi punggung mereka. Tangan kanan Bell masih memeluk Ryuu dengan lembut, dan mereka berdua sekarang sedang duduk di depan api unggun. Ide Ryuu ini berhasil, mereka berdua benar-benar merasa hangat dari berpelukan langsung tanpa busana yang sedang mereka lakukan. Suasana kali ini adalah suasana di mana mereka berdua bisa merasa paling tenang sejak mereka jatuh ke lantai 37 ini. Mereka berdua benar-benar merasa nyaman dan menikmati momen yang ada, suasana menjadi hening dan sunyi untuk sejenak.
Keheningan itu berlangsung sampai Bell yang memulai percakapan-percakapan ringan. Dimulai dari Bell yang mulai menyadari setelah bersentuhan langsung–soal tubuh dan fisik Ryuu. Ia awalnya sempat malu untuk mengatakannya, namun akhirnya ia mengalah dari dorongan Ryuu yang terus mendorongnya untuk mengatakannya. Akhirnya Bell mengakui bahwa ia mulai menyadari soal tubuh Ryuu yang ramping, lembut, dan sangat feminin. Setelah mendengarnya, tentu saja Ryuu merasa senang dan malu secara bersamaan. Situasi menjadi hening kembali untuk beberapa saat.
Sampai pada Bell yang kembali lagi memecah keheningan, bertanya kepada Ryuu soal apa yang ingin ia lakukan ketika kembali ke permukaan lagi nantinya. Ryuu berkata bahwa ia ingin kembali memakan masakan hangat Mama Mia (Ibu pemilik bar tempatnya bekerja), meskipun sebelumnya ia akan dimarahi oleh Syr dan teman-temannya yang lain karena sudah berbuat gegabah dari semua masalah ini. Kemudian, Bell menambahkan bahwa setelah kembali ke permukaan, ia ingin bertemu kembali dengan semua anggota familianya, lalu bersama-sama mengatakan “Kami pulang” kepada Dewi Hestia yang menunggu di permukaan. Ryuu tersenyum mendengar itu, mengatakan bahwa semua orang di dalam familia harus dijaga dengan baik. Bell pun membalasnya dengan mengatakan bahwa ia akan menjaga semua anggota familia-mya dengan baik, sebagaimana Ryuu memperlakukan rekan-rekannya terdahulu dalam Astrea Familia. Ryuu kembali lagi menjadi tersipu malu, dan berterima kasih.
Titik Terdalam (Tahap 5: The Last Stretch, Once and for All)
Setelah cukup beristirahat, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka berdua. Kondisi kaki dan tangan Bell yang sudah terluka cukup parah sejak jatuh ke lantai 37 sebenarnya belum sembuh sepenuhnya, namun Ryuu memutuskan bahwa mereka tetap harus melanjutkan perjalanan. Paling tidak, Ryuu sekarang sudah bisa berjalan sendiri, dan Bell masih bisa bertarung meskipun dengan tangannya yang terluka–karena masih berada dalam perlindungan kulit Goliath.
Ryuu menjelaskan, bahwa mata air tadi sepertinya memang adalah satu-satunya safe point atau tempat aman di lantai 37 dari para monster yang berkeliaran. Mereka berdua juga sebenarnya bisa beristirahat lebih lama lagi di sana, namun mereka berdua tetap harus melanjutkan perjalanan selama mereka memiliki cukup stamina untuk melakukannya. Salah satu alasan terbesarnya, tentu saja karena di lantai 37 yang sedang mereka telusuri sekarang tidak memiliki sumber makanan.
Selain itu, Ryuu juga mengingatkan bahwa sudah sewajarnya dungeon tidak akan membiarkan orang-orang yang memilih untuk diam dan menunggu saja di dalamnya tanpa melakukan pergerakan apapun untuk kembali hidup-hidup. Ryuu dan Bell sudah melakukan apa yang mereka bisa lakukan selama berada di ruangan mata air tadi–yaitu untuk beristirahat–dan sekarang, mereka berdua harus segera bergerak kembali untuk terus bertahan hidup dan kembali ke permukaan. Bahkan Ryuu pun merasa kesal, bahwa momen ketenangan dan penuh kehangatan antar mereka berdua di ruangan mata air tadi tidak bisa bertahan lama dan berlalu begitu saja, karena mereka memang tidak boleh berlama-lama di sana.
Mereka berdua berjalan menyusuri jalan-jalan yang asing dan belum pernah dipetakan sebelumnya. Ryuu pun mengeluarkan peta yang ia miliki, kemudian mereka berjalan menyusuri jalan dan tempat yang baru selagi Ryuu memetakan semuanya. Sampai akhirnya mereka berdua menemukan semacam struktur batuan aneh yang terdapat di langit-langit ruangan. Bell pun hendak mengeceknya dan menancapkan belatinya untuk memecah batuan itu. Struktur itu retak, dan kemudian membuka jalan bagi mereka berdua ke suatu tempat di atas. Setelah melewati lubang dari batuan itu tadi, mereka berdua kembali lagi ke lantai 37. Mereka memerhatikan sekitar, dan masih belum merasakan hawa kehadiran monster sejauh ini.
Setelah lanjut berjalan beberapa saat, Ryuu mulai menyadari sesuatu. Mereka berdua sekarang sedang berada di rute utama setelah melihat struktur besar di hadapan mereka yang mengisyaratkan demikian. Ryuu juga mengatakan dengan pasti, bahwa setelah mereka melewati dinding di hadapan mereka sekarang, maka nantinya hanya akan menyisakan satu dinding lagi sebelum mereka bisa mengakses jalur tanpa labirin yang mengarah langsung ke lantai 36. Bell langsung berubah senang ketika mendengarnya, dan merasa lebih bersemangat untuk terus maju.
Mereka berdua pun tanpa hambatan terus berjalan maju melewati dinding itu. Namun, setelah masuk ke lorong penghubung dengan ruangan selanjutnya, mereka berdua tiba-tiba merasakan niat membunuh yang begitu kuat di sekitar mereka sekarang, padahal tidak ada monster yang terlihat sejauh mata memandang. Baru kemudian ketika mereka menapakkan kaki di ruangan terakhir itu, tiba-tiba ada sebuah lengan monster yang jatuh di hadapan mereka berdua. Secara refleks, mereka berdua langsung melihat ke atas.
Di dinding ruangan yang begitu tinggi, ada sesosok monster yang sudah menunggu lama kedatangan mereka berdua. Ya, monster itu tidak lain dan tidak bukan adalah Juggernaut. Monster itu terus menunggu kedatangan Bell dan Ryuu, karena ia kemungkinan besar juga sudah tahu bahwa mereka berdua memiliki tujuan untuk naik ke lantai 36; sedangkan tidak ada jalan lain untuk pergi ke sana selain melewati ruangan yang sedang ia tunggu. Begitu Bell dan Ryuu memasuki ruangan dan memasuki jarak pandangnya, Juggernaut langsung terjun ke bawah dan menyambut kedatangan mereka berdua dengan kasar.
Bell dan Ryuu terempas cukup jauh oleh sergapan Juggernaut. Mereka berdua bangkit, dan setelah melihat situasi yang sebenarnya, mereka berubah terkejut. Yang ada di hadapan mereka bukanlah sekadar Juggernaut yang biasa. Juggernaut kali ini memiliki tampilan yang cukup berbeda dan mencolok di beberapa bagian tubuhnya. Salah satu yang langsung Bell sadari adalah pada salah satu kaki Juggernaut tersebut. Ia ingat dengan jelas, bahwa ia sudah memotong salah satu kakinya saat ia melawannya pada lantai 27 tadinya. Namun kali ini kaki itu kini “tumbuh” kembali, namun memiliki tampilan yang berbeda. Setelah Bell dan Ryuu memerhatikannya dengan lebih lanjut, rupanya Juggernaut itu memakan tubuh banyak monster lantai dalam untuk memulihkan beberapa bagian dari tubuhnya, mengingat lengan monster yang jatuh di hadapan mereka berdua tadi sebelum dihadang langsung oleh Juggernaut. Ada bagian tubuh dari Juggernaut yang tampak seperti tengkorak dari Skull Sheep, kemudian ada juga daging Barbarian, tulang Spartoi, dan sisik Lizardman menyelimuti berbagai bagian dari tubuh Juggernaut itu, membuatnya seperti seekor Chimera.
Bell langsung memulai serangannya, namun seperti biasa, selalu saja susah untuk membuat celah apabila melawan monster ini. Bell harus berusaha keras untuk terus menghindari serangannya. Namun kabar baiknya, karena Juggernaut itu sudah memakan berbagai jenis monster dan menjadikannya bagian dari tubuhnya, maka pergerakannya sekarang menjadi jauh lebih lambat dari sebelumnya, yang tentunya sangat memudahkan untuk Bell dan Ryuu untuk bisa bertarung–mengingat kecepatannya yang luar biasa sebelumnya benar-benar membuat mereka berdua kerepotan saat melawannya.
Namun, begitu saat Bell menyadari hal itu, Juggernaut yang sekarang berada di dinding ruangan mulai menembakkan puluhan tulang tajam secara beruntun, yang membuat Bell kewalahan untuk menghindarinya. Itu sama persis dengan jenis serangan yang bisa dilakukan oleh Skull Sheep. Ternyata Juggernaut yang sekarang juga bisa menggunakan serangan dari berbagai jenis monster yang sudah ia makan, sebagai pengganti kecepatannya dan kelincahannya yang menurun drastis.
Bell yang memang tidak 100% dalam kondisi primanya benar-benar dibuat kewalahan oleh serangan Juggernaut yang tanpa ampun. Ia bahkan sudah sempat tergores, nyaris terkena serangan telak. Ryuu, di sisi lain, masih belum bisa menggerakkan kakinya. Ia mengakui bahwa ia sebenarnya masih takut apabila harus kembali berhadapan langsung dengan monster yang terus menghantuinya selama 5 tahun ini. Namun kini, ia memiliki motivasi dan tujuan yang lebih jelas di depan mata. Dari semua hal yang telah mereka berdua lalui di dalam dungeon kali ini, Ryuu benar-benar meyakinkan dirinya sendiri di dalam hati untuk menyingkirkan seluruh perasaan takutnya kali ini. Dengan kehadiran Bell kali ini di sisinya, ia menegaskan kepada dirinya sendiri dalam hati.
“Apapun yang terjadi, aku tak ingin kehilangan Bell untuk kali ini.”
Setelah itu, akhirnya Ryuu mulai masuk ke dalam pertempuran. Ia sempat menyelamatkan Bell dari sergapan langsung Juggernaut, namun monster tersebut tak memberi mereka waktu untuk beristirahat sedikitpun. Tiba-tiba Juggernaut melancarkan serangan berupa duri-duri tulang yang muncul dari tanah. Duri-duri itu muncul dengan begitu cepat dan mendadak, membuat Bell dan Ryuu telat untuk bereaksi. Walhasil, Bell mendorong Ryuu dan terkena salah satu duri dengan cukup telak, membuat lubang kecil di sisi perut Bell. Ryuu juga sangat kaget, karena itu adalah serangan yang dimiliki oleh Udaeus, salah satu boss yang ada di lantai dalam ini.
Darah segar mengucur deras dari luka itu, benar-benar memperburuk situasi bagi mereka berdua. Namun Bell langsung mengambil inisiatif dan langsung merapal Firebolt pada lukanya tersebut. Prosesnya memang sangat menyakitkan dan membuat Bell merintih kesakitan, namun sangat efektif untuk menutup luka dan pendarahan yang terjadi.
Namun, meskipun semua itu sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi. Bell dan Ryuu dari awal memang sudah lemas dan kehilangan banyak darah sejak jatuh ke lantai 37 ini. Setelah menerima luka itu, Bell kehilangan semakin banyak darah dan mulai tak sadarkan diri. Ryuu langsung sigap untuk menopangnya, namun Juggernaut sudah siap dengan libasan ekornya yang melemparkan Bell dan Ryuu dengan telak ke dinding. Melihat Juggernaut yang sudah bersiap untuk terus menyergap, Ryuu langsung melihat kanan-kirinya, mencari tempat untuk bersembunyi. Dan rupanya memang ada, sebuah celah kecil di dinding dekat mereka berada sekarang.
Ryuu bersusah payah membawa Bell untuk masuk ke dalam celah tersebut. Mereka berdua akhirnya berhasil masuk, tepat sebelum serangan dari Juggernaut bisa menjangkau mereka di dalam celah tersebut. Namun kemudian, setelah masuk ke dalam, di depan mereka sekarang dihadapkan dengan monster-monster yang menunggu di dalam celah tersebut. Juggernaut yang serangan langsungnya sudah tidak bisa menjangkau Ryuu dan Bell, akhirnya kembali lagi menggunakan serangan milik Udaeus yang tadi. Duri-duri tulang langsung menyembul dengan cepat dari dinding yang ada di celah kecil tersebut. Ryuu langsung berpikir cepat, ia menunduk sambil masih merangkul Bell yang pingsan. Ia terus maju sambil menundukkan badan, sehingga duri-duri tulang tersebut malah mengenai monster-monster yang tadinya menunggu mereka di dalam, membunuh mereka semua dengan seketika. Setelah melangkah cukup jauh dan keluar dari jarak pandang Juggernaut di luar, monster itu akhirnya pergi untuk sejenak.
Suasana di dalam celah tersebut akhirnya bisa menjadi lebih tenang untuk sejenak. Ryuu menggunakan sihir penyembuh untuk menyembuhkan luka tusuk Bell tadi, kemudian ia berbaring di sebelah Bell, menatap langit-langit. Dari sini, Ryuu terlihat sudah mulai kembali kehilangan semangat, dan sangat meragukan apakah mereka berdua benar-benar bisa keluar hidup-hidup dari situasi yang sedang mereka hadapi sekarang.
Kemudian Bell pun tersadar dari pingsannya dan terbatuk-batuk. Ia kemudian langsung bertanya soal keberadaan Juggernaut, dan Ryuu mengatakan bahwa monster itu telah menghilang. Bell kemudian langsung bertanya apakah mereka akhirnya bisa kembali untuk sekarang. Ryuu menjawab iya. Bell mungkin sudah merasa ada sesuatu yang aneh dari sini, dan itu terbukti setelah Ryuu yang berbaring di hadapannya dengan wajah ketakutan, meminta Bell untuk memeluknya. Bell tanpa ragu langsung mengabulkan permintaan Ryuu tersebut.
Dalam hatinya, Ryuu merasa senang karena pada momen ini sekarang, dan hanya sekarang, ia adalah orang yang paling dekat dengan seorang Bell Cranel–bukan orang lain. Namun di sisi lain, ia juga merasa terpuruk, karena mengetahui bahwa mereka berdua hanya akan terus berada di dalam celah itu untuk menemui ajal mereka, atau dihabisi oleh Juggernaut apabila mereka keluar dari sana. Ryuu benar-benar dipenuhi perasaan putus asa untuk sekarang.
Bell sudah paham akan hal ini, dari ekspresi ketakutan Ryuu yang menjelaskan semuanya. Ryuu mengatakan semua itu tadi hanya untuk menenangkan dirinya sendiri yang sedang berada di jurang keputusasaan. Bell dengan senang hati melakukan apa yang Ryuu minta untuk terus menenangkannya.
Hingga pada akhirnya, Ryuu mengatakan pada Bell bahwa ia ingin tidur untuk sejenak. Pada saat itu, Ryuu sudah merasa menyerah. Namun tentunya tidak dengan Bell yang memiliki rencana yang lain. Setelah Ryuu mulai tertidur, Bell yang mengetahui bahwa perkataan Ryuu tadi hanyalah kebohongan akhirnya memilih untuk bangkit. Ia berencana untuk menghadapi Juggernaut sendirian. Ia berkata bahwa Ryuu sudah mengalami banyak penderitaan, dan ia ingin Ryuu untuk bisa bermimpi indah, paling tidak untuk sekarang.
Bell merasa sekujur tubuhnya dipenuhi oleh rasa sakit, namun ia justru malah bersyukur atas hal itu. Ia berkata dalam hati bahwa, apabila tubuhnya masih bisa merasakan rasa sakit, itu artinya ia masih bisa menggerakkannya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ialah yang akan melindungi Ryuu untuk kali ini. Bell pun mengeluarkan Firebolt dari dalam celah itu untukk menarik perhatian Juggernaut. Ia berjalan keluar dari celah itu dengan penuh keyakinan. Ia menghunuskan belatinya, bersiap untuk berduel sampai akhir.
Di sisi lain, Ryuu sedang bermimpi. Di dalam mimpinya, ia kembali lagi ke Sungai Sanzu di mana mantan rekan-rekannya di Astrea Familia berada di seberang sungai, semuanya membelakangi Ryuu. Kali ini, Ryuu yang sudah menyerah dan putus asa mulai mencoba untuk menyeberangi sungai tersebut–menggambarkan bahwa ia sudah tidak peduli lagi apabila harus mati sekarang. Ryuu kembali ke kebiasaan buruknya, yaitu terus membuat asumsi untuk menjustifikasi apa yang ia lakukan. Ia terus berkata dalam hatinya bahwa para rekannya di Astrea Familia pasti akan tetap menerimanya, kemudian dosa dari perbuatannya juga akan diampuni, dan akhirnya keinginannya untuk mati dan menyusul para rekannya bisa dikabulkan. Namun, Alise di seberang sungai langsung berbalik badan.
Alise langsung berkata dengan tegas untuk melarang Ryuu menyeberangi sungai itu, dan mengatakan bahwa ia tak akan memaafkan Ryuu apabila ia melakukannya. Di saat yang bersamaan, ada suara-suara pertarungan antara Bell dan Juggernaut dari belakang Ryuu–menAndakan bahwa indra pada tubuh Ryuu masih cukup sensitif untuk bisa merasakan dan mendengarkan pertarungan di luar alam mimpinya. Alise pun kembali menegaskan, bahwa apabila Ryuu benar-benar sudah menyerah dengan situasinya sekarang, maka hanya akan ada penyesalan yang menantinya kelak.
Ryuu sempat melihat ke belakang untuk sejenak. Ia berkata bahwa ia terlalu takut untuk menghadapi monster itu, mimpi buruk dari masa lalunya. Namun kemudian Alise langsung memotong, mengatakan bahwa Ryuu sedang berbohong. Ia mengatakan bahwa “keadilan” dalam diri Ryuu sebenarnya masih ada. Alise mengatakan bahwa Ryuu selama ini terus menjaga keseimbangan dan harmoni, sama seperti yang selalu diperjuangkan oleh Astrea Familia dulunya. Alise juga mengakui bahwa Ryuu selama ini sudah selalu terus membuat keputusan yang tepat berdasarkan keadilan yang ia anut, sesuai dengan perkiraannya dulu.
Baru setelah itu, seluruh rekan-rekannya yang lain mulai berbalik badan. Semuanya tersenyum lebar kepada Ryuu, menimpali perkataan Alise barusan dengan kalimat penuh motivasi untuk Ryuu. Salah satunya tentunya adalah Lyra yang mulai memberi petunjuk soal apa arti sebenarnya dari pengorbanan seluruh anggota Astrea Familia pada hari itu hanya untuk menyelamatkan Ryuu seorang. Kaguya juga terakhir menimpali dengan tersenyum, menyuruhnya untuk kembali karena ada hal yang harus ia selesaikan.
Mendengar mantan rekan-rekannya yang begitu suportif, Ryuu tak bisa membendung air matanya. Ia mengaku bahwa selama ini ia selalu ingin untuk meminta maaf, dihukum dan dicaci karena sudah membiarkan semua rekannya mati pada hari itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, Ryuu akhirnya pun juga mulai menyadari bahwa sebenarnya dari dalam lubuk hatinya ia tahu bahwa rekan-rekannya tidak akan melakukan hal seperti itu. Ia selama ini hanya terus membuat asumsi seperti itu karena ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri, dan ia hanya terus mencoba melakukannya untuk “meringankan” beban yang ia pikul di dalam hatinya dan juga sebagai caranya untuk “menghukum” dirinya sendiri.
Kemudian, Alise kembali bertanya soal apa sebenarnya keadilan yang sekarang sedang ia perjuangkan. Ryuu menjawab, bahwa ia ingin menyelamatkan “dia”, dan juga ingin kembali ke bar tempatnya bekerja sebelumnya bersama “dia”, bertemu dengan Syr dan yang lainnya. “Dia” pada konteks ini tentunya merujuk kepada Bell. Setelah Ryuu mulai membangun keyakinan dalam dirinya, Alise menambahkan pesan terakhirnya untuk Ryuu.
“Jangan melarikan diri. Juga, jangan membiarkannya lari darimu!”
Dengan pesan terakhirnya itu pun, Alise mewakili rekan-rekannya yang lain mengucap salam perpisahan kepada Ryuu. Mereka semua saling berpisah dengan senyuman yang lebar, semua yang perlu disampaikan telah tersampaikan. Ryuu pun berbalik badan, berterima kasih kepada mantan rekan-rekannya tersebut dan bersiap untuk menghadapi “kenyataan” dan masa lalu di hadapannya.
Di dunia nyata, Ryuu pun akhirnya terbangun dari mimpinya. Ia mendengar suara pertarungan di luar celah, dan bersegera untuk bangkit. Ia berteriak parau, memaksa dirinya untuk terus maju dan mengalahkan rasa takutnya, demi untuk memperjuangkan “keadilan” yang ingin ia perjuangkan sekarang. Ia mencabut salah satu duri tulang serangan yang tadi dan menjadikannya sebagai senjata, kemudian ia mulai memasuki medan pertempuran.
Pertarungan yang sedang terjadi di antara Bell dan Juggernaut kini berlangsung lebih sengit. Dengan kedua belah pihak yang sedang tidak berada dalam kondisi terbaiknya dan dengan Bell yang juga sudah mengenali pola serangan dari Juggernaut, keduanya beradu imbang untuk waktu yang cukup lama. Namun Bell sudah mulai sedikit menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dari sinilah, Ryuu langsung menyergap dari belakang dan menghantamkan duri tulang itu sekuat tenaga pada tubuh Juggernaut hingga hancur. Juggernaut mengerang, ia hendak membalas Ryuu namun serangannya bisa dihindari dengan mudah. Ryuu mundur untuk sejenak, mengabarkan kedatangannya kepada Bell. Bell cepat mengerti, dan mereka berdua mulai melancarkan serangan bersama-sama.
Ryuu mendekat dengan cepat, melompat dan langsung mengincar tubuh Juggernaut secara langsung. Ketika monster itu hendak mencabiknya di udara, Ryuu menggunakan salah satu gerakan andalannya, yaitu bermanuver di udara hanya menggunakan sentuhan jarinya. Ia berputar melewati ayunan lengan Juggernaut, dan berhasil menusukkan belatinya pada leher Juggernaut, menghasilkan satu serangan telak.
Bell merasa bahwa ini adalah sebuah kemajuan semenjak tidak ada serangannya yang mengenai Juggernaut sama sekali tadinya, namun ia merasa bahwa semua ini masih jauh dari kata cukup untuk bisa mengalahkannya. Di saat yang bersamaan, Ryuu mulai berlari di sekitar Juggernaut, mulai merapal mantra. Bell langsung paham begitu ia mendengar mantra itu. Ia juga langsung berlari karena ia memahami bahwa Ryuu sedang mempersiapkan Luminous Wind, serangan yang dulunya berhasil membuat sesosok Juggernaut ketakutan dan melarikan diri karena kekuatannya. Bell langsung berencana untuk menghancurkan lapisan pelindung Juggernaut yang dapat memantulkan segala macam jenis sihir, sama seperti yang dilakukan Alise dahulu. Bell mulai bersiap untuk meluncurkan sihir Argo Vesta yang ia miliki. Namun, ketika sudah semakin mendekat, Juggernaut melancarkan serangan duri tulang dari bawah tanah miliknya ke segala penjuru. Walhasil, Bell kembali tertusuk di perutnya dan pada beberapa bagian tubuhnya yang lain, dan Ryuu juga sedikit tergores dan hampir terkena luka yang fatal.
Namun Ryuu tetap terus merapalkan mantranya, tidak membiarkan serangan mereka terhenti begitu saja. Bell yang menyaksikannya juga tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia langsung membenamkan belati berisi sihir Argo Vesta miliknya ke tanah, dan meledakkan tanah sekelilingnya, menghancurkan seluruh duri tulang yang ada bersamaan dengan mengalihkan perhatian Juggernaut untuk sejenak. Namun sayangnya, Bell masih kesusahan untuk bergerak karena luka yang barusan ia dapat. Juggernaut sudah bersiap untuk mengayunkan cakarnya untuk menyerang Bell yang sedang penuh celah, namun Ryuu langsung melompat dan menggagalkan upaya Juggernaut tersebut. Dalam hati ia berpikir, bahwa apabila ia melakukan hal seperti ini di masa lalu dan tidak hanya sekadar menangis ketakutan, maka ia pasti bisa menyelamatkan Alise juga waktu itu.
Bell langsung memaksa tubuhnya untuk bergerak, posisinya yang sudah sangat dekat dengan Juggernaut tidak ia sia-siakan begitu saja. Ia langsung menempelkan kedua tangannya di tubuh monster itu, dan melepaskan Firebolt.
Sihir itu meledakkan tubuh Juggernaut, sekaligus lapisan pemantul sihir yang ia miliki hingga pecah. Bell juga terpental akibat serangan yang ia lakukan barusan, namun itu sudah cukup. Kini Juggernaut memiliki celah yang sangat besar, di mana ia sedang kesulitan bergerak dan lapisan pemantul sihirnya sudah hilang dari serangan Bell.
Ryuu langsung melanjutkan rangkaian serangan mereka dengan menyelesaikan rapalan mantranya. Butiran sihir Luminous Wind mulai beterbangan dengan cepat, menghantam telak Juggernaut yang sedang penuh celah. Juggernaut sempat berhasil menghindar ke atap-atap ruangan dari beberapa butiran Luminous Wind, yang membuat Bell sempat merasa bahwa serangan yang dilakukan Ryuu gagal.
Namun Ryuu adalah sosok yang paling tahu soal kecepatan dari makhluk itu dari seluruh pengalamannya, dan ia masih menyimpan beberapa proyektil Luminous Wind bersamanya, dan ia bersiap untuk menghabisi Juggernaut dengan serangannya kali ini, sekarang dan selamanya. Kali ini, daripada menyerang Juggernaut dengan semua proyektil Luminous Wind secara membabi buta, Ryuu menggunakannya dengan kreatif. Ia tidak hanya menghamburkan semuanya untuk menyerang ke satu titik, namun ia menggunakan butirannya satu persatu untuk bisa mengalahkan monster merepotkan tersebut.
Terutama dalam scene ini di anime, Ryuu menyebut nama mantan rekan-rekannya di Astrea Familia, kemudian ada semacam siluet dari rekan-rekannya tersebut yang merepresentasikan butiran-butiran Luminous Wind yang ia gunakan. Ryuu sendiri juga mengakui bahwa yang ia lakukan sekarang ini tidaklah lebih dari sebuah delusi, dan ini hanya sebagai bentuk sentimennya terhadap mantan rekan-rekannya tersebut. Namun ia tidak peduli untuk sekarang, karena ia memiliki seluruh kepercayaan diri dan tanggungan yang harus ia bayarkan sekarang juga kepada semua orang terdekatnya–yaitu untuk menghabisi Juggernaut.
Ryuu menggunakan proyektil Luminous Wind tadi di antaranya untuk menambah momentum tubuhnya agar bisa leluasa bebas bergerak di udara, kemudian ia juga menggunakannya untuk menghancurkan pijakan Juggernaut yang sedang berada di atap-atap. Begitu Juggernaut yang sudah terluka parah itu jatuh bebas, barulah Ryuu menggunakan proyektil Luminous Wind untuk mendorong tubuhnya ke bawah, dan juga untuk menghabisi Juggernaut. Ia memegang sebuah proyektil yang terakhir, kemudian menghantamkannya telak ke tubuh Juggernaut yang sedang terjatuh.
Ryuu meneriakkan Luvia, sebuah mantra yang berfungsi untuk meledakkan salah satu proyektil Luminous Wind miliknya. Dan akhirnya, dengan serangan telak terakhir itu, tubuh Juggernaut yang masih berada di udara meledak, dan menyisakan abu putih bekas kematiannya yang beterbangan di udara. Juggernaut akhirnya telah kalah.
Seluruh abu beterbangan itu membuat lantai dungeon seperti sedang turun salju. Bell dan Ryuu sama-sama kelelahan dan penuh luka, tergeletak begitu saja di lantai dungeon. Mereka sempat berbicara sepatah-dua kata untuk memastikan apakah mereka sudah benar-benar menang atau belum, dan soal kembali ke permukaan. Namun karena kelelahan dan seluruh luka yang mereka dapatkan, mereka berdua akhirnya pingsan.
Setelah itu, para Xenos yang sebelumnya memang sedang mencari keberadaan Bell di lantai 37 akhirnya bisa melacak suaranya dan bisa menemukan Bell dan Ryuu yang sedang pingsan.
Para Xenos itu langsung memberikan darah dari mermaid yang ditemui oleh Bell di musim 4 bagian pertama sebelumnya. Darah mermaid sangat langka namun juga sangat ampuh untuk menyembuhkan luka terbuka yang ada di tubuh. Setelah meminumkannya kepada Bell dan Ryuu, mulai terdengar juga suara rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh Lili dan Hestia Familia yang juga sedang mencari Bell di lantai 37 ini. Para Xenos akhirnya memutuskan untuk pergi, karena memang mereka belum bisa menampakkan dirinya begitu saja kepada orang-orang di luar Hestia Familia (ingat, rombongan ekspedisi Lili juga berisi beberapa orang dari luar Hestia Familia) sehingga Xenos* memutuskan untuk pergi sebelum kedatangan mereka.
Rombongan ekspedisi Lili akhirnya sampai, dan berhasil bertemu dengan Bell dan Ryuu. Mereka berdua sempat terbangun untuk sebentar untuk “menyambut” kedatangan mereka. Semuanya buncah oleh perasaan senang dan bahagia, mengetahui bahwa tidak ada satu pun yang harus dikorbankan dari semua kekacauan di dalam dungeon yang mereka hadapi sejak awal ekspedisi mereka menuju lantai bawah pada musim 4 bagian pertama sebelumnya.
Epilogue: The Resolution
Di permukaan, Ryuu terbangun di sebuah ruangan. Syr dan para maid lain yang juga sedang menunggu di dalam pun menyapa Ryuu dan juga bersyukur, karena Ryuu sudah tertidur sejak mereka terakhir berada di dalam dungeon selama tiga hari penuh. Ia dan Bell rupanya digotong oleh rombongan Lili kembali ke permukaan pada saat itu, dan langsung dibawa menuju rumah sakit.
Namun, bukannya tetap beristirahat, Ryuu yang ingatannya masih tertinggal dari sejak mereka berada di dalam dungeon itu pun langsung bertanya soal keadaan Bell. Rupanya Bell juga sudah bangun, dan berada di ruangan lain. Ryuu pun tanpa berpikir panjang langsung beranjak meninggalkan kasurnya dan berlari menuju ruangan tempat Bell berada.
Ketika membuka pintunya, Ryuu akhirnya kembali bertemu dengan Bell yang sedang bersama dengan Hestia, Lili, dan seorang perawat. Ryuu akhirnya bisa menghela napas lega, namun semua orang di dalam ruangan langsung kaget dan berwajah merah ketika melihat sosok Ryuu. Ryuu sendiri juga baru mulai menyadari soal pakaian yang sedang ia kenakan.
Pakaian itu hanya berupa sehelai kain yang diikat renggang di bagian depannya. Karena berlarian tadi, ikatan itu akhirnya merenggang dan sehelai kain itu pun mulai terjatuh. Ryuu berteriak nyaring karena malu, sedangkan Hestia dan Lili langsung refleks menampar pipi Bell agar tidak melihat Ryuu yang sedang berada di hadapannya. Perawat pun akhirnya memarahi mereka berdua karena sudah menampar Bell, padahal ia sekarang sedang dalam perawatan dan masa penyembuhan.
Setelah situasi mulai tenang kembali, sekarang mulai ditampakkan beberapa situasi aftermath dari seluruh kekacauan yang telah terjadi sejak awal musim keempat ini. Di antaranya obrolan Bell dan Hestia, anggota Hestia Familia dengan Ryuu, reuni anggota familia lain yang ikut ekspedisi dengan Dewa/Dewi mereka, juga Ryuu dengan Syr. Semuanya saling mengucapkan rasa syukur kepada satu sama lain soal seluruh pertolongan dan kerja sama yang akhirnya bisa berujung ke tidak ada korban yang harus jatuh akibat ekspedisi dungeon mereka itu.
Beberapa poin penting di antaranya adalah Bell dan Hestia yang saling mengakui bahwa Ryuu sudah menyelamatkan nyawa Bell di lantai dalam dengan cara mengajarinya cara untuk bertahan hidup, kemudian para anggota Hestia Familia yang berterima kasih kepada Ryuu karena telah menyelamatkan Bell–namun Ryuu menyangkalnya, sebaliknya mengatakan bahwa apabila bukan karena Bell, maka ia akan dengan mudah menjadikan lantai dalam itu sebagai kuburannya sebagai akibat dari penyesalan masa lalunya. Welf juga mengatakan bahwa sudah beredar kabar bahwa sosok “Angin Kencang” sudah mati, menandakan bahwa alter ego “jahat” milik Ryuu akhirnya sudah mati di mata masyarakat. Juga kabar bahwa “Angin Kencang” itu sempat membantu para petualang untuk mengalahkan Goliath dulunya di musim kedua, dan Welf juga mengaitkannya dengan sentimen “keadilan kepada alter ego itu, membuat Ryuu semakin tersenyum lega.
Terakhir, percakapan Ryuu dengan Syr. Syr mengatakan bahwa Mama Mia sedang marah karena ketiga maid-nya sebelumnya melakukan ekspedisi ke dalam dungeon untuk mencari Ryuu, dan sekarang mereka harus “menggantinya” dengan bekerja ekstra sehingga tidak bisa menjenguk Ryuu sejak hari ia bangun dulunya. Selain itu, Syr juga membawakan pesan dari Mama Mia, “Aku membuat terlalu banyak risotto, sehingga pulanglah dan makan sisanya di sini”, menyiratkan bahwa Mama Mia juga sebenarnya merasa cemas dengan Ryuu dan ingin bagi ia untuk segera kembali. Ryuu merasa tersentuh, karena salah satu harapan yang ia ujarkan sebelum keluar dari dungeon bisa terwujud, yaitu untuk memakan masakan hangat buatan Mama Mia dan kembali bersama rekan-rekannya lagi di bar itu.
Akhirnya tiba hari di mana Bell dan Ryuu akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Mereka berdua saling bertemu di sebuah taman. Bell tampak rapi dengan tangan kirinya yang masih harus ditopang oleh kain. Sedangkan Ryuu sedang mengenakan pakaian yang ia pinjam dari Syr, tampak anggun. Bell tersenyum lebar dan mengatakan bahwa Ryuu sangat cocok memakainya, membuat wajah Ryuu memerah seketika. Bell pun mengajak Ryuu untuk berjalan-jalan sejenak, berhubung sudah cukup lama sejak mereka berdua berada di bawah siraman sinar matahari secara langsung.
Selama berjalan-jalan, mereka berkeliling kota dan mengunjungi berbagai tempat sambil mengobrol. Ryuu bertanya soal kondisi tangan kiri Bell, karena luka pada tangan itu yang sangat parah sampai tidak bisa disembuhkan dengan sihir penyembuh biasa. Bell menjawabnya dengan mengatakan bahwa tangannya sebenarnya bisa disembuhkan dengan cara rekonstruksi penuh dari awal, dan ia juga bersyukur hal itu bisa dilakukan karena seluruh tulang dan otot pada tangannya masih lengkap berada di dalam balutan kulit Goliath yang selalu ia kenakan pada saat di dalam dungeon. Sekarang tangan kirinya sedang berada dalam masa pemulihan, sehingga ia baik-baik saja. Bahkan Ryuu juga kaget dan tidak tahu bahwa itu bisa dilakukan, namun Bell menimpalinya dengan mengatakan bahwa perawatan soal tangan kirinya ini memakan biaya yang cukup banyak.
Setelah berkeliling ke banyak tempat, akhirnya mereka berdua sampai di suatu tempat yang cukup tersembunyi dengan pemandangan yang bagus, mencakup seluruh isi kota. Ryuu mengatakan bahwa ia dulunya sering datang ke tempat ini bersama Alise.
Setelah keadaan hening untuk beberapa detik. Ryuu kembali memulai pembicaraan dengan mengutip perkataan Dewi Astrea kepada dirinya di masa lalu yang sedang dipenuhi keinginan untuk balas dendam, yaitu “Tinggalkanlah keadilan yang kamu percayai.” Ryuu kemudian menjelaskan bahwa pada awalnya ia menganggap perkataan itu adalah bentuk penolakan secara langsung oleh Dewi Astrea kepadanya karena rasa kecewa. Namun, setelah melihatnya kembali, Ryuu menyadari bahwa perkataan itu justru sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan dirinya. Ia menyadari bahwa apabila Dewi Astrea dulunya justru melarang Ryuu untuk melampiaskan semua dorongan jahat dan keinginannya untuk balas dendam, hal itu justru akan membuat Ryuu semakin putus asa pada waktu itu dan semakin kehilangan arah untuk melanjutkan hidup.
Ryuu melanjutkan dengan menyatakan bahwa Bell adalah orang pertama yang mengatakan secara gamblang bahwa sebenarnya masih ada keadilan di dalam dirinya, dan kata-kata itulah yang bisa membuat Ryuu bangkit dari titik terendah dalam kehidupannya di dalam dungeon lantai 37 itu, dan bisa menemukan resolusi untuk terus melanjutkan kehidupan–menjaga wasiat dari mantan rekan-rekannya di Astrea Familia dulu. Ryuu juga membuat pernyataan–dan kini menyiratkan bahwa ia sedang berkata sebagai seorang elf–bahwa Bell adalah manusia yang pantas untuk ia hormati. Ryuu mengulas senyum lebar dan tulus dari lubuk hatinya, mewakili seluruh perasaan bersyukurnya terhadap laki-laki yang sedang berada di hadapannya sekarang ini.
Bell juga kemudian tersenyum senang, mengatakan bahwa ia senang bisa melihat Ryuu tersenyum selebar itu. Ia juga mengatakan bahwa Ryuu terlihat cantik sekarang, dibandingkan dengan seluruh penampilannya di hadapan Bell sebelumnya.
Perkataan Bell itu tentunya membuat wajah Ryuu langsung memerah. Ia langsung berbalik, membelakangi Bell.
Dengan terbata-bata, Ryuu berkata bahwa ia tidak bisa menatap wajah Bell secara langsung untuk sekarang. Bell bertanya mengapa demikian, dan Ryuu juga tidak tahu alasannya. Ryuu kemudian langsung berlari meninggalkan Bell yang sedang kebingungan.
Di saat berlari, Ryuu terus memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ia bingung dengan perasaan gundah yang sedang melandanya sekarang. Ia tidak pernah mengalaminya sebelumnya, hingga sekarang. Ia benar-benar gelisah, sampai-sampai bertanya kepada Alise di dalam hatinya soal apa yang harus ia lakukan sekarang.
Musim anime ini kemudian ditutup dengan suara Alise yang mengatakan “Jangan membiarkannya lari darimu!”, mengutip perkataan Alise sebelumnya saat Ryuu berpisah untuk terakhir kalinya dengan mantan rekan-rekannya di dalam mimpinya.
Focus Shift dan Sebuah Sajian Terstruktur atas Character Development
Apabila Anda telah mengikuti DanMachi sedari musim awal dia tayang, terdapat perubahan fokus atas apa yang ingin dibawakan oleh penulis. Mulai dari saat Bell masih sendirian, di-cap sebagai seseorang yang tidak memiliki potensi, kemudian “dipungut” oleh Dewi Hestia lalu mulai bertemu dengan orang-orang banyak, lalu berakhir dikelilingi dengan mereka yang berarti olehnya. Penulis mengalihkan fokus dari seolah-olah hanya ingin mengikuti format umum “satu protagonis laki-laki utama, satu protagonis wanita utama, dan beberapa tritagonis dibelakang mereka”.
Musim pertama memiliki kesan yang sangat dalam bahwa Bell hanya menginginkan untuk menjadi seseorang yang kuat agar bisa melayani Dewi Hestia dengan lebih baik lagi, sembari mengejar-ngejar Ais sebagai seorang teladan, dan juga sebagai love interest. Walaupun terlihat seperti sebuah alur cerita yang terkesan memaksakan nilai-nilai romansa dalam penulisannya, apa yang dilakukan oleh Bell memang hanya sebatas pada “mengagumi” seorang teladan dan sekadar rasa ingin untuk mengikuti jejaknya.
Musim pertama juga adalah awal dibangunnya Hestia Familia dengan memperkenalkan beberapa karakter pendamping yang memiliki eksistensi yang signifikan terhadap perkembangan dari Bell. Secara kasar terdapat 3 story arc pada musim pertama, masing-masing berfokus pada Lili, Welf, dan Ais. Arah pembawaan cerita mencoba untuk memberi spotlight pada setiap karakter tersebut, namun tetap saja eksistensi Ais senantiasa ada pada setiap saat. Hal ini bisa saja dimaklumi mengingat Bell yang masih berada dalam training arc dan mencoba untuk membangun kekuatan sebisa mungkin, dan secepat mungkin. Musim pertama adalah saat di mana Bell mendapatkan julukan “Little Rookie”, dan naik ke level 2.
Memasuki musim kedua, familia–familia lainnya mulai memiliki ketertarikan pada Bell dan mencoba untuk merebut Bell dari Hestia Familia. Fokus cerita pada musim kedua dapat dibagi menjadi 2 story arc, masing-masing menceritakan hubungan Hestia Familia dengan Apollo dan Ishtar familia. Tentunya, dengan lebih banyak bumbu-bumbu dramatis, terlebih dengan story arc pertama dengan Apollo familia yang mengokohkan keikutsertaan Lili, Welf, dan juga Mikoto dari Takemikazuchi Familia. Musim kedua diakhiri dengan konflik antar Hestia dan Ishtar Familia, berakhir dengan bergabungnya Haruhime ke Hestia Familia dan hancurnya Ishtar Familia. Perkembangan cerita yang berfokus pada konflik kepentingan antar beberapa familia, dan bahkan lebih menceritakan apa yang terjadi di atas dungeon ketimbang di bawah dungeon.
Musim ketiga adalah titik di mana penulis mulai “kembali ke jalan yang benar”. Fokus sekali lagi diubah sorotannya ke dungeon, dengan titik berat pada eksistensi monster dan Xenos yang ada di dalam dungeon. Secara garis besar, hanya ada satu story arc pada musim ini, dengan fokus utama yang menceritakan hubungan Bell dengan Wiene dan Xenos lainnya, serta kedudukan Bell sebagai seorang petualang. Musim ini memiliki lebih banyak dampak terhadap perkembangan karakter seorang Bell, terlebih momen ketika dia harus memilih keputusan berat untuk memilih pihak yang harus dia pilih. Bell yang sudah memiliki familia dan rekan-rekan yang penting baginya dihadapkan dengan situasi sulit. Dunia tidak bekerja dengan sedemikian mudahnya, terlebih dari seberapa “lemahnya” Bell atas tekanan yang diberikan oleh sekelilingnya.
Melihat ke musim-musim sebelumnya, penulis layaknya memiliki tujuan untuk membuat setiap insiden menjadi elemen yang akan membuat Bell semakin kuat, namun secara kasar tidak ada perkembangan terhadap sifat Bell pada musim pertama dan kedua. Yang patut diacungi jempol, hanyalah kesabaran Hestia dalam menghadapi Bell saja. Satu-satunya perkembangan dari sifat dan watak Bell yang terasa adalah bagaimana dia belajar untuk menghargai orang-orang yang ada di sekitarnya. Musim ketiga adalah momen di mana Bell dihantam oleh tsunami fakta, dihadapkan oleh situasi buset atau anjir, dan menjadi badut untuk sejenak dengan permasalahan yang terjadi menyangkut keberadaan Xenos, juga tak lupa konfrontasi yang ia lakukan dengan Dix Perdix sebagai main villain dari musim ketiga ini. Namun inilah perkembangan yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk dijatuhkan ke seorang individu bernama Bell Cranel ini. Sifatnya masih cenderung kekanak-kanakan (masih berumur 14 dan akan selalu 14), namun dengan kekuatan yang sudah setingkat dengan petualang ternama memang membuat Bell mau tak mau harus menjadi lebih dewasa dengan lebih cepat.
Jadi, bahwasanya apa yang terjadi pada musim keempat sehingga banyak penonton mulai banting setir dan kagum terhadap Bell?
Ekspedisi Lantai Bawah
Bell yang baru saja menginjak level 4, beserta status Hestia Familia yang mulai diakui sebagai salah satu familia yang kuat membuat mereka diberikan tugas wajib untuk melakukan ekspedisi ke dungeon. Dengan komposisi tim yang kokoh, dan dibantu juga oleh Aisha sebagai petualang level 4, tentunya tidak akan ada situasi yang terlalu sulit yang akan dihadapi oleh Bell dan kawan-kawan, kan? Hal ini juga terbukti dari separuh awal musim keempat bagian pertama yang alur perkembangan ceritanya terkesan mirip anime shounen pada umumnya.
Namun, berbeda kasusnya dengan paruh kedua dari musim keempat bagian pertama ini. Twist yang diberikan pada bagian ini bukan hanya membuat Bell syok, namun juga sekaligus menjadi premis atas malapetaka yang sudah disiapkan di depan. Bell yang kepercayaannya terhadap Ryuu diuji, lalu dihadapkan dengan kenyataan yang tidak dia inginkan. Sekali lagi dunia tidak berjalan dengan apa yang diharapkan Bell, dan menjadi semakin buruk saat “bencana” alias Juggernaut mulai menampakkan dirinya.
Rentetan kejadian yang terjadi pada musim keempat bagian pertama berakhir pada bermulanya bagian kedua yang semakin memberi pelajaran berharga untuk Bell. Selain merasakan bahwa dungeon itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh, lantai dalam yang sedang Bell jejaki pada waktu itu adalah kali pertama Bell dihadapkan pada perasaan teror yang sungguh intens dan mencekam; membuat Bell jauh lebih menghargai segala kesempatan, karunia, dan momen yang diberikan kepadanya semaksimal mungkin. Kehadiran Ryuu yang sudah dianggap sebagai mentor bagi Bell sekarang juga menjadi faktor vital untuk bertahan hidup. Dengan semua yang telah ia lalui di lantai dalam ini, membuat Bell menjadi seseorang dengan pribadi yang lebih tangguh secara fisik maupun mental; kemampuan fisiknya berkembang dengan pesat, dan ia bisa menjadi lebih dewasa dari segi cara berpikir dan dalam mengambil keputusan—yang sangat dipengaruhi oleh ajaran dari Ryuu. Menariknya lagi, justru perkembangan yang Bell dapat dari Ryuu ini yang juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter Ryuu itu sendiri nantinya.
Antara sesuatu yang dianggap sebagai keputusan heroik, keputusan rasional dengan keuntungan tertinggi (juga kerugian terendah), optimisme, atau apapun itu, keputusan yang Bell ambil sudah bisa lebih mempertimbangkan antara semua hal tersebut. Di sepanjang musim keempat ini, Bell terus dihadapkan kepada situasi baginya untuk berpikir kritis dan membuat keputusan rasional dengan mempertimbangkan semua faktor yang ada. Namun, puncaknya adalah ketika Bell dihadapkan kepada situasi di mana Ryuu mengorbankan dirinya agar Bell bisa selamat dari lantai dalam di ujung Koloseum.
Secara logis dan rasional, menyelamatkan Ryuu yang sudah berkorban pada poin ini sudah terhitung hampir mustahil dan memiliki risiko yang sangat tinggi. Namun, Bell dengan jiwa heroik yang memang ia miliki sedari awal tetap tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, dan ia tetap bersikeras untuk pada akhirnya tidak meninggalkan Ryuu walaupun sudah dibukakan jalan keluar dari pengorbanan yang sudah Ryuu lakukan. Dan seperti yang bisa dilihat, dengan optimisme dan hasil dari ketulusan hati Bell yang memang hanya ingin menyelamatkan sosok yang berharga bagi dirinya, Dewi Fortuna juga akhirnya mulai berpaling dan memberikan karunianya kepada Bell dan Ryuu yang memang sudah tidak punya harapan lain—menyelamatkan mereka berdua dengan keberuntungan semata dengan fakta bahwa terdapat jalur tersembunyi di bawah Koloseum setelah ledakan yang Bell buat. Faktor keberuntungan memang terdengar payah dan terkesan mengandalkan pada peluang dan bertaruh. Namun, keberuntungan adalah suatu hal yang selalu menyertai kehidupan; dan momen langka seperti last ditch effort yang Bell lakukan pada saat itu bukanlah pengecualian.
Semua naik-turun yang Bell dan Ryuu alami dalam musim keempat ini adalah hasil dari pembelajaran dari apa yang dungeon mampu untuk sajikan ke setiap petualang yang mencoba meranah dirinya lebih dalam. Penulisan cerita yang senantiasa beriringan antara dalam menceritakan perkembangan situasi Bell dan Ryuu di dalam lantai 37 dengan masa lalu Ryuu memiliki kesan yang sungguh efektif untuk mengembangkan relasi dan intimasi mereka berdua. Seseorang yang sudah selesai menyaksikan seluruh musim keempat (hampir bisa dipastikan) akan jatuh hati dan mendukung kelanjutan hubungan mereka berdua.
Semua hal yang telah terjadi di musim keempat adalah pelajaran yang berharga untuk seorang Bell Cranel, namun bagaimana untuk seorang Ryuu Lion? Apakah yang disajikan dalam musim keempat bagian kedua ini juga berhasil untuk mengembangkan karakternya?
Keadilan Yang Ideal
Ryuu awalnya hanyalah petualang yang dipungut oleh Alise. Kemudian, ia berjuang untuk sesuatu yang menurutnya sebuah bentuk keadilan. Ia mulai sering bentrok pemikiran dan berkonfrontasi dengan anggota familia lainnya atas definisi dari keadilan, dan puncaknya tentunya adalah pada saat kejadian yang menghabisi seluruh anggota Astrea familia, kecuali Ryuu seorang. Ryuu yang kemudian hidup untuk membalaskan dendamnya dengan menghabisi pengikut Evilus pun harus hidup dalam persembunyian, keluar dari guild petualang, dan berjuang sendirian. Dengan segala fakta tersebut, terkadang masih sering kali membuat kita berpikir. Apakah balas dendam adalah hal yang paling logis untuk dilakukan disini? Apakah balas dendam mampu untuk mewujudkan keadilan yang didambakan oleh Ryuu?
Eksekusi mati, atau capital punishment, adalah bentuk keadilan yang dicoba untuk dibawakan oleh Ryuu. Pada dunia nyata, bentuk hukuman ini umumnya dikenakan pada narapidana tingkat serius, seperti pembunuhan berantai, pelaku genosida, pembunuhan dan penyiksaan anak-anak. Hukuman ini memiliki sifat irreversible atau tidak dapat dikembalikan, terlihat dari hilangnya nyawa yang dimiliki oleh terdakwa. Hukuman ini disebut juga sebagai hukuman yang tidak menjunjung HAM serta memiliki kesan “brutal”. Hukuman ini diklaim mampu untuk membawakan “efek jera” yang sifatnya lebih ke menakut-nakuti orang-orang agar tidak sesekali mencoba untuk melakukan pelanggaran yang sama. Dan yang paling penting adalah, hukuman ini dijatuhkan oleh badan hukum terkait yang berada dalam suatu negara, ataupun daerah pemerintahan.
Apakah Orario memiliki konstitusi ataupun badan hukum yang cukup untuk membentuk sebuah sistem penegakan hukum? Apakah hukum itu sendiri ada di dalam Orario?
Secara umum, badan organisasi dengan kedudukan tertinggi di Orario adalah guild petualang. Dipimpin oleh Ouranos sebagai dewa pertama yang turun ke Orario yang membuat dirinya memiliki kekuatan dan kedudukan yang lebih senior ketimbang dewa-dewi lainnya. Hal ini membuat dirinya memiliki hal yang cukup untuk membentuk suatu pemerintahan dan badan hukum yang mampu untuk memberi sistem penegakan hukum. Sayangnya, Ouranos sendiri tidak tertarik untuk mengambil alih pemerintahan dan hanya bertugas untuk menghalangi monster untuk tidak keluar dari dungeon. Hal ini membuat tidak ada hukum yang definit yang membuat Orario bisa dikatakan sebagai sebuah daerah dengan sistem hukum.
Kendati demikian, tetap ada suatu tatanan hukum yang semu untuk tetap membuat keadaan damai di Orario. Ganesha familia dikenal secara umum sebagai “polisi” yang membawa keamanan pada penduduk Orario, dan tidak segan-segan mengambil tindakan terhadap familia lainnya apabila ada sesuatu yang berpotensi untuk mengganggu kedamaian. Keberadaan dari guild juga pada dasarnya hanya sebagai organisasi yang memediasi hubungan antar manusia dan petualang dengan dewa-dewi yang turun ke Orario. Hal ini dapat dilihat dari akhir dari musim kedua di mana Freya Familia harus membayar kerugian material atas gesekan yang terjadi dengan Ishtar Familia. Namun terlepas dari itu, apabila tidak ada bukti yang konkrit dan gesekan konflik hanya terjadi dalam tingkat perdata, maka perkara tersebut tidak dapat/akan diselesaikan oleh badan atau organisasi apapun. Apabila ada, hanya untuk insiden yang dianggap memiliki skala besar saja. Inilah mengapa segala bentuk kejahatan yang terjadi di dalam dungeon tidak dapat dihukum apabila tidak ada bukti yang cukup, mengakibatkan banyak pembunuhan yang terjadi di dalam dungeon.
Apa yang telah dilakukan Ryuu untuk mengejar keadilan yang diinginkannya membuat guild harus memberi label buronan kepada sosok berjulukan “Angin Kencang” yang identitas sebenarnya adalah Ryuu sendiri. Kepalanya diberi harga, nama berjulukan miliknya di-blacklist dari memasuki pasar dagang batu magis, dan serangkaian dampak lainnya yang secara nyata membuat Ryuu tidak memiliki opsi untuk bisa bersandar atau menyerahkan perwujudan “keadilan” yang ia inginkan kepada guild untuk menjatuhkan hukuman pada Evilus. Untuk membiarkan hal tersebut tidak diadili juga bertentangan dari definisi keadilan yang ideal bagi Ryuu, sehingga satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh Ryuu agar dia tidak hidup bagaikan manusia tak berjiwa adalah membalaskan dendamnya dengan tangannya sendiri. Sebuah harga yang besar untuk dibayar.
Aksi yang dilakukan Ryuu tentunya sampai ke guild, namun guild sendiri memutuskan untuk tidak melakukan bentuk pengejaran terhadap Ryuu. Alasan pertama adalah, karena pihak guild yang harus menutup mulut Ryuu agar tidak menyebarkan informasi soal keberadaan Juggernaut di dungeon; dan sebagai gantinya, pihak guild juga tidak akan menyebarkan identitas asli dari sosok berjulukan “Angin Kencang” kepada masyarakat luas. Guild sendiri juga tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk mengerahkan pasukan keamanan, bahkan familia–familia lainnya memiliki kekuatan militer yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, guild sejatinya hanya memiliki kekuasaan dalam mengatur alur ekonomi yang berada dalam Orario, sebagai satu-satunya hal yang tidak dapat dikendalikan oleh satu familia tertentu, membuat guild tetap diperlukan sampai sekarang.
Jadi, apakah aksi Ryuu untuk menghabisi Evilus adalah sesuatu yang dapat dijustifikasi? Mengingat tidak adanya sistem hukum yang sesuai dan memadai membuat tidak ada opsi lain. Dampak positif yang diterima secara kolektif terhadap tingkat keamanan yang ada di Orario dan sekitarnya juga membuktikan bahwa aksinya dapat diterima. Hanyalah karena tidak adanya sistem hukum yang sesuai sehingga guild hanya bisa mematok harga pada kepala Ryuu, dan sampai di situ saja. Walaupun tanpa sistem hukum, keamanan publik tetap senantiasa berusaha untuk dijaga oleh orang-orang yang ada di Orario, baik dari petualang itu sendiri, dari guild, atau dari dewa-dewi yang ada.
Dan pada akhirnya, kita tidak ingin melihat orang lain mengalami hal buruk seperti apa yang dialami oleh seorang Ryuu Lion.
Mengatasi Trauma, dan Pentingnya Bersyukur
Selain melihat perkembangan dari bagaimana sesosok Ryuu Lion dalam menyikapi keadilan yang dianutnya, di musim keempat anime ini juga diwarnai oleh bagaimana Ryuu mulai menghadapi, kemudian juga mengatasi trauma yang ia miliki dari masa lalunya.
Musim keempat ini mencakup lengkap 5 stages of grief yang dialami oleh Ryuu terkait traumanya—dimulai dari fase denial ketika ia memulai seluruh rangkaian balas dendamnya. Kemudian fase anger terjadi ketika ia mulai berkonfrontasi dengan Jura, di mana ia mulai “dibuka” matanya soal seluruh kejahatan yang sudah ia lakukan di masa lalu itu sebenarnya hanyalah Ryuu yang bersifat egois dan tidak berguna terhadap rekan-rekan di familia-nya, membuat Ryuu semakin tidak bisa menerima kenyataan yang sedang ia lalui. Kemudian fase bargaining terjadi ketika Ryuu dan Bell terjatuh ke dalam lantai 37 dungeon. Di sini, Ryuu mulai cenderung bertindak dengan lebih tenang, dan terus membimbing dan meyakinkan Bell yang masih penuh dengan harapan agar bisa keluar. Namun, di dalam hatinya Ryuu terus menyalahkan dirinya sendiri dan terus meyakini fakta bahwa ia adalah akar dari seluruh permasalahan yang terjadi sejauh ini hingga melibatkan banyak pihak-pihak luar yang tidak terkait seperti Bell.
Kemudian, fase depression memuncak ketika Ryuu memberi jalan kepada Bell agar bisa lolos dari kejaran monster di Koloseum. Di situ, Ryuu sudah berada dalam titik terendah dalam hidupnya. Ia benar-benar merasa tidak dapat diselamatkan, dan ia merasa bahwa ini adalah akhir yang cocok untuk pendosa sepertinya. Terakhir, fase acceptance tentunya adalah pada saat Ryuu mulai mendapatkan validasi dari Bell soal masa lalunya, sehingga ia akhirnya bisa mulai menerima semua kesalahan yang telah ia lakukan di masa lalu dan bisa belajar untuk lebih bersyukur soal semua yang telah ia dapatkan hingga membuat dirinya yang sekarang. Semua fase ini di-portray secara sangat baik dan menunjukkan bahwa seorang individu korban trauma berat seperti Ryuu—dengan bantuan orang yang tepat—bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan move on dari trauma yang sudah ia alami.
Seluruh kata-kata motivasi dan validasi dari Bell benar-benar sudah membuka mata Ryuu soal trauma yang selalu menghantuinya hingga saat itu. Bell bisa berkata bahwa Ryuu tidak berada dalam pihak yang bersalah saat melancarkan balas dendamnya, adalah merupakan buah hasil dari perkembangan cara berpikir yang sudah ia adaptasi dari musim ketiga dan musim keempat—yaitu semua orang memang munafik dalam upaya untuk melindungi hal-hal yang berharga bagi mereka. Hal itu berarti, bahwa pasti ada pihak yang dirugikan atas aksi seseorang dalam melindungi apa yang ingin ia lindungi—dan Bell paham bahwa hal itu normal di diri setiap orang; tak terkecuali dirinya sendiri. Bell juga paham betul bahwa seluruh aksi balas dendam Ryuu adalah perwujudan dari sosok Ryuu yang berusaha untuk mewujudkan “keadilan” yang ia percayai sepeninggal rekan-rekannya di Astrea Familia—meskipun itu harus dibayar dengan banyak kematian dan kehancuran.
Pada akhirnya, Ryuu yang sudah bisa menerima dan berdamai dengan masa lalunya kini bisa hidup dengan lebih tenang, dan semakin bersyukur atas segala hal-hal positif yang ada di sekitarnya. Entah itu teman-teman maid-nya di dalam Houstess of Fertility, teman-temannya di Hestia Familia, ataupun teman-temanya di Astrea Familia yang sudah mendahuluinya; Ryuu akhirnya bisa menghadapi mereka semua dengan tersenyum lebar (tentu saja juga tidak mengabaikan fakta bahwa Ryuu sudah bisa merasakan perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—ia telah jatuh hati sepenuhnya kepada Bell setelah seluruh dukungan mental yang ia dapatkan dari laki-laki itu saat mereka berdua masih berada di lantai dalam dungeon).
Kata Penutup
DanMachi musim keempat membawa sesuatu yang fresh apabila dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya. Fokus cerita yang terjadi nyaris seluruhnya pada dungeon sendiri memberi penekanan bahwa dungeon bukanlah suatu tempat yang dapat dianggap remeh. Keseluruhan cerita yang bahkan memerlukan dua cour membuktikan bahwa ada sesuatu yang ingin diceritakan oleh penulis terhadap perkembangan Bell sebagai seorang protagonis, dan Ryuu sebagai salah satu karakter yang sebelum-sebelumnya belum sempat dieksplorasi lebih lanjut. DanMachi musim keempat membuktikan bahwa setiap individu memiliki ceritanya masing-masing, membuka potensi yang sangat lebar untuk suatu dunia fantasi seperti DanMachi ini yang berbasis kepada pedang dan sihir.