Rasanya sulit memisahkan kota Bandung dewasa ini dari diversitas penduduknya. Pelancong dari berbagai daerah berperan membawa arus globalisasi yang turut berperan menjadikan Bandung sebagai kota yang semakin dinamis, alih-alih menyajikan tampilan yang monoton. Meskipun demikian, akar-akar kultural tetap tertancap dalam di kota Bandung, tak hilang terbaur arus diversitas. Tak pelak, kota Bandung pun mulai dipercaya untuk menghelat festival-festival kebudayaan resmi – baik yang berskala nasional maupun internasional. Turut serta menyemarakkan jajaran festival kebudayaan tersebut adalah Bandung Japan Festival – sebuah festival yang disokong berbagai lembaga resmi terkemuka (antara lain oleh Pemerintah Kota Bandung dan Embassy of Japan Indonesia). Sebagai pendatang baru di belantara festival berbau kebudayaan di kota Bandung, bagaimanakah keberlangsungan acara ini di tahun pertamanya?
Harus diakui, hanya sekejap setelah disambut dengan tulisan ‘Wilujeng Sumping!’ di gerbang depan, penulis serasa memasuki dimensi yang benar-benar baru. Siapa sangka, area rooftop Sasana Budaya Ganesha yang umumnya merupakan lahan kosong nan tandus berhasil disulap menjadi area festival yang semarak. Balutan warna kuning-pink-biru tertabur di mana-mana, bak oase penyejuk di tengah lautan manusia. Meskipun demikian, terlepas dari atmosfer yang fantastis ini, masih banyak pengunjung yang tersasar ke dalam gedung Sabuga itu sendiri (yang notabene juga sedang menyelenggarakan event lain) alih-alih menuju rooftop.
Terdapat dua panggung – panggung mini dan panggung utama – yang memecah keheningan selama pagelaran Bandung Japan Festival berlangsung. Kedua panggung ini beroperasi secara paralel dan diorbit oleh beragam stand-stand khas festival kebudayaan Jepang, yang umumnya menjual aneka kuliner dan beragam pernak-pernik. Terdapat juga beberapa stand yang mempromosikan hal-hal yang sejauh ini masih kurang lazim ditemukan di festival-festival sejenis, semisal stand-stand fanbase artis tertentu atau stand komposer vocaloid pendatang baru. Secara keseluruhan, stand yang berpartisipasi cukup menawarkan variasi, sehingga rasanya pengunjung tak akan cepat bosan mengelilingi area rooftop Sabuga ini.
Sayangnya, tepat pukul 11:00 – waktu dimana jumlah pengunjung mencapai klimaks – terjadilah sesuatu yang telah menghantui beragam event outdoor di seluruh dunia : Hujan. Problema klasik event outdoor ini praktis membuat banyak pengunjung berhamburan mencari tempat teduh, yang – sayangnya – menyebabkan penumpukan di area stand doujinshi market. Rintikan air yang turun selama hampir dua jam ini menimbulkan berbagai genangan di seputar rooftop Sabuga (terutama sekitar stand makanan), yang segera diatasi oleh pihak panitia dengan semacam alat penyedot air.
Menjelang sore, segalanya relatif normal. Pengunjung datang dan pergi, stok merchandise pun perlahan menipis – yah, begitulah. Seiring dengan munculnya rembulan, tercatat sudah hampir tak ada aktivitas lagi di area panggung mini. Beberapa stand (terutama stand makanan) memang masih berjualan, namun jumlah pengunjung sudah jauh menurun. Dengan datangnya malam, apakah ini berarti keseluruhan euforia acara harus terhenti?
Sesungguhnya, tidak. Beruntunglah bagi mereka yang masih bertahan hingga malam hari, karena di masa itulah gemerlap panggung utama menyinari kota Bandung dengan indah di bawah mendungnya langit malam itu. Dengan dikelilingi udara Bandung yang dingin, beragam penampil dan bintang tamu berkesempatan untuk tampil secara maksimal di depan para audiens yang tertata rapi. Tak seperti siang hari yang sangat padat, penulis berkesempatan untuk melangkah ke panggung utama dan meliput dengan leluasa. Tirai acara pun ditutup dengan indah pukul 22:00 tepat, seolah mengisahkan perpisahan yang emosional dengan para penyukses acara.
Kembali ke pertanyaan di awal – bagaimanakah keberlangsungan acara ini di tahun pertamanya? Yah, menurut perspektif pribadi penulis, pihak penyelenggara telah berhasil menyajikan impresi yang positif kepada para pengunjungnya. Bukan acara terspektakuler dalam kategorinya, namun tetap sangat menyegarkan jiwa. Penulis merasa bersyukur bisa melepaskan diri dari intensnya UTS dan aktivitas kampus sejenak dan bersenang-senang dengan rekan-rekan yang memiliki interest yang sama – sesuatu yang sulit rasanya untuk didapat di pertengahan semester yang padat. Dengan dilatarbelakangi performa yang dapat dibilang memuaskan ini, banyak pihak (termasuk penulis) yang berharap agar acara ini kembali dilangsungkan ke depannya. Penulis pribadi berharap agar – apabila acara serupa digelar tahun depan – penekanan terhadap budaya Jepang itu sendiri dan kerjasama bilateral Indonesia – Jepang di bidang kebudayaan lebih diekspos, mengingat acara ini disponsori oleh beragam lembaga resmi.
Terlepas dari itu, suksesnya eksekusi acara ini sudah merupakan bukti konkrit pemerintah untuk membuka diri terhadap arus globalisasi dan melakukan akulturasi budaya multinasional secara positif – sesuatu yang sudah sepatutnya diapresiasi dan didukung penuh oleh masyarakat.
(artikel oleh Zakaria S. Laksmana / Nivalyx, G ’13)